Putusan pengawas penyelenggara pemilu Toraja Utara, Aceh, dan Sulawesi  Utara tengah menuai polemik. Pasalnya, putusan tersebut dinilai bertentangan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018  tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (PKPU No. 20/2018) yang berkenaan dengan pelarangan eks  narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Putusan  tersebut merupakan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh bakal caleg  DPD dari Sulawesi Utara Syahrial Damapolii, bakal caleg DPD dari Aceh  Abdullah Puteh, dan bakal caleg DPRD Toraja Utara Joni Kornelius Tondok  yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) karena merupakan mantan napi  korupsi. Putusan ini membatalkan keputusan KPU daerah, sehingga  kepesertaan ketiganya dianggap Memenuhi Syarat (MS).
Banyak  pihak yang mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI untuk meninjau  putusan Bawaslu daerah tersebut, sebab diasumsikan tidak sejalan dengan  semangat pemberantasan korupsi.Â
Namun demikian, keberanian Bawaslu  daerah untuk menginvalidasi keputusan KPU patut diapresiasi, sebab  merupakan koreksi atas ketentuan PKPU yang telah mencoreng logika hukum  dan bersifat sewenang-wenang.
Dari Awal
Kesalahan dalam pelarangan eks napi  korupsi pada dasarnya telah timbul dari awal penyematan Pasal 4 ayat (3)  PKPU No. 20/2018 yang mensyaratkan, dalam seleksi bakal calon oleh  partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka, tidak  menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap  anak, dan korupsi. Ketentuan ini bukan lagi bernilai pembatasan hak  pilih, melainkan penghapusan hak konstitusional individu tertentu.
Tindakan KPU telah melebihi batas kewenangannya. Undang-undang saja,  sebagaimana dikemukakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 51/PUU-XVI/2016, tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang  tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.Â
Selain itu, pembatasan tersebut pun harus didasarkan atas alasan-alasan yang kuat,  masuk akal, dan proporsional serta tidak berlebihan (Putusan Mahkamah  Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003).
Meninjau ketentuan internasional, dalam Siracusa Principles pun, yakni prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia dalam International Covenant on Civil and Political Rights, Â mengamini pembatasan hak politik warga negara, dengan catatan, Â pembatasan tersebut tidak berlaku secara sewenang-wenang dan masuk akal.
Pencabutan hak, khususnya hak pilih, seyogianya hanya dapat dilakukan  dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai bentuk hukuman tambahan atas tindak pidana yang dilakukan.Â
Hukuman ini  bersifat fakultatif dan tidak boleh dijatuhkan tanpa pidana pokok (Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, 2008). Sebab sejatinya,  pencabutan hak pilih bersifat individual dan sekali selesai, artinya  langsung ditujukan pada pihak tertentu dan untuk masa waktu tertentu. Pencabutan hak pilih tidaklah bersifat kolektif atau umum dan tidak pula  berlaku secara terus-menerus.
Jauh sebelum polemik ini muncul, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 telah merumuskan  syarat pembatasan persyaratan peserta pemilu berkenaan dengan penjatuhan  pidana yang berkekuatan hukum tetap, yaitu: (1) tidak berlaku untuk  jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku  terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana  selesai menjalani hukumannya; (3) dikecualikan bagi mantan terpidana  yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang  bersangkutan mantan narapidana; dan (4) bukan sebagai pelaku kejahatan  yang berulang-ulang.
Aturan inilah yang kemudian diadopsi dalam  Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tepatnya dalam Pasal  240 ayat (1) huruf f yang secara proporsional mengatur: "Setiap calon  tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah  memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang  diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara  terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan  mantan terpidana."
Dengan mempertahankan aturan demikian, KPU  berarti telah melanggar hak politik warga negara yang sejatinya  merupakan hak asasi manusia yang melekat pada individu yang  bersangkutan. KPU telah mengenyampingkan sederet aturan yang secara  hierarkis lebih tinggi, yakni UU No. 7/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi  dan UUD 1945, serta instrumen hukum internasional tentang perlindungan  hak asasi manusia.
Tidak sampai di sana, kejanggalan lain dalam  PKPU ini adalah tidak terdapatnya ukuran yang jelas perihal kejahatan  yang dipersyaratkan dalam PKPU. Ada tiga jenis mantan terpidana  kejahatan yang dilarang dicalonkan sebagai anggota legislatif, yaitu  bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Dasar dan  kapasitas KPU dalam menetapkan ketiga kejahatan ini sebagai  pengeliminasi hak pilih patut dipertanyakan.
Perlu diingat pula  bahwa pada pokoknya, pencabutan hak untuk dipilih tidak hanya berkaitan  dengan tindak pidananya, melainkan juga dengan subjek pelaku tindak  pidana. Pencabutan hak untuk dipilih lebih relevan ditujukan kepada  pejabat publik (public officials) yang melakukan tindak pidana  dengan menyalahgunakan wewenangnya, bukan kepada masyarakat umum yang  melakukan tindak pidana umum.
Lagipula, UU No. 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi telah jelas menerangkan, para mantan  terpidana, dengan jenis kejahatan apapun, cukup secara terbuka dan jujur  mengemukakan statusnya kepada publik. Kritik ini tidak hanya ditujukan  pada persyaratan calon anggota legislatif saja, tetapi juga kepada  persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden (PKPU No. 22/2018)  serta kepala daerah (PKPU No. 3/2017).
Tak Perlu Dipersoalkan
Bawaslu  RI memang tidak berada pada perahu yang sama dengan KPU soal aturan  pencabutan hak politik ini. Namun demikian, menurut pengamatan saya, hal  ini tidak dapat serta-merta disimpulkan bahwa Bawaslu RI tak hendak  mendayung perahu untuk mencapai penyelenggaraan pemilu yang adil dan  berintegritas.
Banyak pihak yang mempertanyakan sikap Bawaslu  RI, apabila tidak setuju dengan ketentuan tersebut, mengapa tak turut  mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui, materi PKPU a quo tengah menjadi "bola panas" di ruang sidang Mahkamah Agung, tetapi Bawaslu tidak termasuk ke dalam pihak Pemohon.Â
Mencermati Pasal 31A ayat  (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No.  3/2009), sesungguhnya Bawaslu tidak memenuhi kualifikasi untuk mengajukan judicial review di Mahkamah Agung.
Legal standing hanya dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia, kesatuan  masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam  undang-undang, atau badan hukum publik atau privat. Lagipula, Bawaslu RI bukanlah pihak yang haknya dirugikan, atau setidak-tidaknya berpotensi  dirugikan dengan keberlakuan PKPU tersebut.
Berdasarkan  keterangan Bawaslu RI pun, ketidaksetujuan ini telah disampaikan saat  Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR. Alasannya, PKPU melanggar  hak konstitusional warga negara dan UU No. 7/2017. Dengan demikian,  sikap Bawaslu tentang permasalahan ini tidak perlu dipersoalkan.
Sudah Tepat
Putusan  yang dihasilkan Bawaslu daerah pada dasarnya sudah tepat. Apabila norma  hukum yang lebih rendah bertentangan dengan norma hukum yang lebih  tinggi, maka yang digunakan sebagai pijakan adalah norma hukum yang  lebih tinggi.Â
Oleh karena PKPU No. 20/2018 berlawanan dengan UU No.  7/2017, sudah semestinya Bawaslu berpegangan pada undang-undang yang  kedudukannya lebih tinggi, sebagai koreksi terhadap PKPU untuk memulihkan hak pilih warga negara.
Namun, di sisi lain semangat  KPU untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi dapat dipahami  sebagai bentuk tanggapan atas keresahan masyarakat dan hal tersebut  perlu diapresiasi, meskipun menurut hemat saya, upaya yang dilakukan  telah melenceng dari koridor hukum, kaidah konstitusional, dan  rasionalitas.
Kerangka berpikir yang demikian malah bersifat kontradiktif dengan sistem keadilan pemilu (electoral justice)  yang hendak menjamin pelaksanaan pemilu sesuai dengan kerangka hukum  dan menegakkan hak pilih warga negara.Â
Sebab ketentuan yang dibentuk KPU  berdampak luar biasa dan tidak wajar, yakni menghapuskan hak  konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan  seumur hidup, bukan lagi bersifat pembatasan.
Mengikuti UU No.  7/2017 pada hakikatnya sudah cukup. Demi mewujudkan pemilu yang adil dan  berintegritas, KPU cukup mengumumkan status calon anggota legislatif  kepada publik. Hal ini juga menjadi bagian dari pendidikan politik bagi  masyarakat agar masyarakat secara objektif menilai sendiri track record calon yang bersangkutan.
Tugas  KPU bukan untuk menentukan dan menyodorkan calon yang seperti apa yang  mesti dipilih masyarakat. KPU hanya perlu memastikan bahwa  penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan sendi-sendi keadilan  pemilu.
Terlepas dari hal itu, sangat disayangkan, KPU  bersikukuh untuk tidak menjalankan putusan tersebut dan tetap mencoret  nama-nama bakal calon anggota legislatif yang merupakan mantan  narapidana kasus korupsi.Â
Padahal putusan Bawaslu daerah bersifat  mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU, kecuali putusan tersebut  dibatalkan di tingkat banding atau kasasi yang telah berkekuatan hukum  tetap. Jika masih enggan melaksanakan, bakal caleg dapat melaporkan KPU  ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, sebab telah melanggar kode  etik dengan tidak mematuhi putusan Bawaslu daerah.
Baik Bawaslu  maupun KPU, keduanya sedang membentuk preseden, baik preseden yang  populer maupun yang tidak. Meredam ego sektoral antarpenyelenggara  pemilu adalah hal penting untuk dilakukan saat ini. Sebab, apabila  sampan di hulu tak kunjung berlayar, bagaimana bisa berlabuh hingga ke  hilir?
Telah dipublikasikan di sini pada 4 September 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI