Mohon tunggu...
Violla Reininda
Violla Reininda Mohon Tunggu... Pengacara - Konversi isi kepala.

Junior Associate pada Refly Harun and Partners; Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara; Instagram: @viorei_

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Bawaslu dan KPU Tak Satu Perahu

7 September 2018   09:46 Diperbarui: 7 September 2018   10:03 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh sebelum polemik ini muncul, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 telah merumuskan  syarat pembatasan persyaratan peserta pemilu berkenaan dengan penjatuhan  pidana yang berkekuatan hukum tetap, yaitu: (1) tidak berlaku untuk  jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku  terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana  selesai menjalani hukumannya; (3) dikecualikan bagi mantan terpidana  yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang  bersangkutan mantan narapidana; dan (4) bukan sebagai pelaku kejahatan  yang berulang-ulang.

Aturan inilah yang kemudian diadopsi dalam  Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tepatnya dalam Pasal  240 ayat (1) huruf f yang secara proporsional mengatur: "Setiap calon  tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah  memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang  diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara  terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan  mantan terpidana."

Dengan mempertahankan aturan demikian, KPU  berarti telah melanggar hak politik warga negara yang sejatinya  merupakan hak asasi manusia yang melekat pada individu yang  bersangkutan. KPU telah mengenyampingkan sederet aturan yang secara  hierarkis lebih tinggi, yakni UU No. 7/2017, Putusan Mahkamah Konstitusi  dan UUD 1945, serta instrumen hukum internasional tentang perlindungan  hak asasi manusia.

Tidak sampai di sana, kejanggalan lain dalam  PKPU ini adalah tidak terdapatnya ukuran yang jelas perihal kejahatan  yang dipersyaratkan dalam PKPU. Ada tiga jenis mantan terpidana  kejahatan yang dilarang dicalonkan sebagai anggota legislatif, yaitu  bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Dasar dan  kapasitas KPU dalam menetapkan ketiga kejahatan ini sebagai  pengeliminasi hak pilih patut dipertanyakan.

Perlu diingat pula  bahwa pada pokoknya, pencabutan hak untuk dipilih tidak hanya berkaitan  dengan tindak pidananya, melainkan juga dengan subjek pelaku tindak  pidana. Pencabutan hak untuk dipilih lebih relevan ditujukan kepada  pejabat publik (public officials) yang melakukan tindak pidana  dengan menyalahgunakan wewenangnya, bukan kepada masyarakat umum yang  melakukan tindak pidana umum.

Lagipula, UU No. 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi telah jelas menerangkan, para mantan  terpidana, dengan jenis kejahatan apapun, cukup secara terbuka dan jujur  mengemukakan statusnya kepada publik. Kritik ini tidak hanya ditujukan  pada persyaratan calon anggota legislatif saja, tetapi juga kepada  persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden (PKPU No. 22/2018)  serta kepala daerah (PKPU No. 3/2017).

Tak Perlu Dipersoalkan

Bawaslu  RI memang tidak berada pada perahu yang sama dengan KPU soal aturan  pencabutan hak politik ini. Namun demikian, menurut pengamatan saya, hal  ini tidak dapat serta-merta disimpulkan bahwa Bawaslu RI tak hendak  mendayung perahu untuk mencapai penyelenggaraan pemilu yang adil dan  berintegritas.

Banyak pihak yang mempertanyakan sikap Bawaslu  RI, apabila tidak setuju dengan ketentuan tersebut, mengapa tak turut  mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui, materi PKPU a quo tengah menjadi "bola panas" di ruang sidang Mahkamah Agung, tetapi Bawaslu tidak termasuk ke dalam pihak Pemohon. 

Mencermati Pasal 31A ayat  (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No.  3/2009), sesungguhnya Bawaslu tidak memenuhi kualifikasi untuk mengajukan judicial review di Mahkamah Agung.

Legal standing hanya dimiliki oleh perorangan warga negara Indonesia, kesatuan  masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam  undang-undang, atau badan hukum publik atau privat. Lagipula, Bawaslu RI bukanlah pihak yang haknya dirugikan, atau setidak-tidaknya berpotensi  dirugikan dengan keberlakuan PKPU tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun