Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Asalnya dari Mata Agista

29 Mei 2024   12:26 Diperbarui: 29 Mei 2024   12:39 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kata yang sudah ditulis itu dihapus. Dia mengulangi lagi dengan tidak menjorokkan kalimat. Dia berhasil menulis empat kalimat baru. Lalu, benaknya berkata lagi. "Eh, apa sebaiknya dijorokkan saja ya? Biar lebih enak dipandang."

Kalimat yang sudah ditulis itu dihapus lagi. Dia menjorokkan kalimat sebagai pertanda paragraf baru. Tetapi, sayang ketika hendak menuliskan kembali kalimat yang sebelumnya, Dia lupa susunan katanya. Inilah sialnya kalau asal menghapus tanpa menyimpan salinannya dulu.

"Perkara menulis saja pusing banget!" Dia mengacak-acak rambutnya yang sudah enam bulan tidak dicukur. Dia menatap hasil tulisannya yang berantakan karena banyak bekas penghapus di sana-sini.

'Kalau lagi bete sama sesuatu, tinggalkan. Bawa duduk kalau sebelumnya kamu lagi berdiri. Dan sebaliknya.'

Nasihat dari seseorang yang Dia kenal baik tiba-tiba menggema di kepala. Berputar ibarat kaset lama.

"Argh lebih baik mati kamu!" Tangan kekar Dia meremas-remas kertas hasil tulisannya, lalu melemparkannya ke tong sampah.

Dia mengambil kunci motor, jaket kulit kesukaannya, dan kamera digital yang menggantung di dekat lampu belajar. Dia ingin membawa kesemrawutan ini ke suatu tempat.

Butuh dua puluh menit untuk bisa tiba di tempat ini. Tempat pelampiasan stres dan perasaan tidak baik Dia. Sedikit informasi, tempat ini Dia temukan ketika dirinya mengalami patah hati untuk yang pertama kali pada usianya yang ke dua puluh tahun. Sejak saat itu, tempat ini masuk ke deretan tempat favorit Dia.

Adalah danau dengan perbukitan yang menjulang di sekelilingnya. Di salah satu pohon, terdapat rumah pohon buatan tangan Dia yang dibuat di akhir tahun. Danau dengan air biru jernih ini terletak di pinggiran kota. Tidak banyak yang tahu, kalau di antara perbatasan kota A dengan C terdapat surga yang terselip. Lebih baik begitu, karena kalau sampai orang-orang pada tahun dan mengunjungi tempat ini. Dia berani bertaruh, kebersihan tempat ini hanya akan bertahan sampai dua atau tiga bulan.

Dia menaiki satu persatu tangga di bawah rumah pohon. Membawa tubuhnya ke pinggiran rumah pohon yang dihiasi pagar bambu yang dilapisi cat cokelat tua. Dia mengedarkan pandangannya. Tempat ini masih sama. Mungkin yang berbeda, di seberang pojok sana kini ada beberapa pedagang kaki lima. Setidaknya hal itu bisa memberi sedikit manfaat bagi Dia kalau cacing di perut minta jatah makan. Dia tidak perlu repot-repot membawa bekal. Seperti anak SD saja, pikirnya.

Dia mengeluarkan kamera digital. Memotret sebagian danau yang menurutnya menarik untuk diabadikan. Sudah menjadi kebiasaan Dia mengambil banyak gambar untuk mengalihkan perasaan jeleknya, di saat orang-orang memilih tidur dan makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun