Bagaikan melayani seorang tamu, Ayah mempersilahkan aku untuk menyenduk nasi, kemudian mengambilkan lauk pauknya sebelum ia sendiri mengambilnya.
"Aden," berkata ayah, "tentu tidak baik makan sambil berbicara. Namun bila itu penting, kukira tidak ada salahnya. Karena itu ayah akan bertanya tentang kehidupanmu."
Kini leherku yang terasa seperti menyempit, aku tak jadi menelan nasi yang sudah aku kunyah.
Namun betapapun beratnya aku tetap mengangguk sambil menjawab, "Silahkan, Ayah."
Waktu hening sejenak, ternyata ayah tidak segera bertanya. Dibiarkannya waktu menggelantung cukup lama.
Bahkan pria tua itu justru menyuapi mulutnya dan mengunyah lalu menelannya.
Kini yang ada justru aku yang agak ragu dan termangu-mangu beberapa saat.
Meskipun kemudian aku tetap makan sambil menundukkan kepala.
"Apakah kau sudah memiliki calon pendamping?" Tanya ayah pelan.
Tapi suara yang pelan itu sudah cukup membuatku melonjak kaget. "Beb..belum, ayah."
"Ya, ayahpun sudah menduga. Tapi bukankah kau sudah harus bekerja? Usiamu hampir 30 tahun Aden."