Rumah itu beratap joglo, lebar dan tinggi menjulang. Halamannya luas berhiaskan pepohonan rimbun di sana-sini, dua di antaranya adalah beringin yang sudah berumur 20 tahun. Pohon itu berdiri kokoh di kanan kiri gapura besar dan megah pula.
Di rumah kuno itulah aku lahir dan dibesarkan. Ayahku seorang pedagang yang senang dengan nuansa klasik dan alami.
Di kota kecil ini semua orang tahu, ayah biasa dipanggil Pak Bima. Orangnya tinggi besar dan agak pendiam seperti panenggak pandhawa.
Pagi itu suasana rumah terasa sejuk dan tenang. Akupun baru datang berkeliling kota tanpa kepastian. Mengisi waktu dengan teman-teman yang berstempel sama: yakni pengangguran.
             **
"Setelah Mas Aden mandi ditunggu ayah di pendapa," kaget sekali aku mendengar simbok berpesan begitu.
Tanpa banyak cingcong akupun bergegas memenuhi undangan ayah. Ada apa ini, Â tidak biasanya ayah bisa bikin dag dig dug. Perlahan akupun menghamprinya. Nampak ayah tertunduk lesu seakan-akan tidak bergerak sama sekali.
"Nah kau sudah mandi dan berganti pakaian? Marilah kita makan bersama di ruang dalam."
Ternyata makan kami sudah disediakan. Seorang pelayan yang semula menunggui makanan itu pun pergi.
Ayah dan akupun duduk. "Marilah kita makan Aden," ajak ayahku. Akupun merasa tiba-tiba semakin asing di rumah ini serta di depan ayahku sendiri.
Biasanya ayah tidak begini kaku menghadapiku. Bahkan seringkali tidak menghiraukanku, apakah aku sudah makan atau belum.
Bagaikan melayani seorang tamu, Ayah mempersilahkan aku untuk menyenduk nasi, kemudian mengambilkan lauk pauknya sebelum ia sendiri mengambilnya.
"Aden," berkata ayah, "tentu tidak baik makan sambil berbicara. Namun bila itu penting, kukira tidak ada salahnya. Karena itu ayah akan bertanya tentang kehidupanmu."
Kini leherku yang terasa seperti menyempit, aku tak jadi menelan nasi yang sudah aku kunyah.
Namun betapapun beratnya aku tetap mengangguk sambil menjawab, "Silahkan, Ayah."
Waktu hening sejenak, ternyata ayah tidak segera bertanya. Dibiarkannya waktu menggelantung cukup lama.
Bahkan pria tua itu justru menyuapi mulutnya dan mengunyah lalu menelannya.
Kini yang ada justru aku yang agak ragu dan termangu-mangu beberapa saat.
Meskipun kemudian aku tetap makan sambil menundukkan kepala.
"Apakah kau sudah memiliki calon pendamping?" Tanya ayah pelan.
Tapi suara yang pelan itu sudah cukup membuatku melonjak kaget. "Beb..belum, ayah."
"Ya, ayahpun sudah menduga. Tapi bukankah kau sudah harus bekerja? Usiamu hampir 30 tahun Aden."
Sejenak akupun terdiam. Benar juga, pikirku. "Kerja apa ayah?"
Nampak ayah tersenyum sambil memandangku penuh arti. "Kau akan jadi seorang manajer, Aden."
Lagi-lagi aku terkejut, yang kali ini bahkan membuatku tersedak. Beberapa butir nasi sempat terloncat dari mulutku. "Manajer !?" tanyaku setengah tak percaya.
"Betul anakku. Ayah sudah memutuskan, usaha ayah yang di kota sebelah ayah serahkan kepadamu nak," kata beliau serius "biarlah paman Endra nanti yang akan mendampingimu."
"Tapi, ayah!?"
"Ssst ! Kali ini kau tidak boleh membantah Aden. Kau harus bersikap dewasa," kata beliau sambil meletakkan sendoknya. Akupun lantas diajaknya berjalan-jalan di taman belakang.
           ***
Bagaikan seekor anak ayam, akupun membuntuti kemana ayahku melangkah. Tak kuhiraukan lagi apa saja yang ayah ucapkan. Yang ada di kepalaku hanya satu, aku akan jadi manajer. Uh !
"Aden, ayah sudah berpikir banyak tentangmu. Kau bersedia menuruti perintah ayah?"
"Y.. ya ayah, aku akan berusaha melaksanakan tugas itu."
"Bagus anakku," kata beliau sambil menepuk-nepuk pundakku," satu lagi yang harus Aden turuti."
"Apa lagi, ayah?" tanyaku sambil duduk di kursi taman.
"Kau harus segera berdampingan dengan seorang istri."
"Oh !" Tak sengaja mataku memandang ayah setengah terbelalak.
"Tidak ayah, aku belum punya calon yang sesuai," jawabku setengah memprotes.
"Aden !" Kata-kata ayah kali ini agak keras. Bahkan rasanya seperti membentakku, "seorang manajer itu pimpinan. Tentu harus ada yang mendampingi saat kau memimpin."
Betul juga, pikirku. Bagaimana nanti dengan para istri karyawanku.
"Aden sudah mengenal Sawitri, kan? Dia adalah gadis yang sangat sesuai untukmu?"
"Ooh..! Sawitri, yang asisten ayah itu!?"
"Betul anakku. Dia gadis terpelajar, cerdas, cantik juga. Mau apa lagi. Semua sudah ayah persiapkan."
Maka di benakkupun lantas terbayang seorang gadis yang tinggi semampai, berkulit kuning langsat dan berambut panjang. Pipinya dekik dengan alis yang tebal pula. Cantik sekali memang.
"Hai, Aden. Kok malah melamun!" Kata ayah bergurau sambil menepuk pundakku.
"Eeh, em ma'af.. ayah!" Jawabku tergagap.
"Bagaimana anakku, kaupun seorang lelaki seperti ayah kan?" tanya beliau bercanda, "kau mau menerima usul ayah?"
Dan tak sengaja kepalaku mengangguk. Entah siapa pula yang menyuruhku tersenyum.
            **
Begitulah, singkat cerita pernikahan itupun berlangsung dengan meriah. Siapa yang tidak kenal dengan Arsena Bima Rajendra, seorang pengusaha kayu yang sukses dengan beberapa perusahaan miliknya. Tak heran jika tamupun berdatangan dari berbagai penjuru.
Dan kini pesta itu telah usai. Dua minggu kemudian di kota sebelah telah tampil pula seorang manajer baru. Aden Arsena Putra  dengan seorang istri yang cerdas dan cantik.
Tapi manajer muda ini kabarnya justru sering menghindar dari banyak orang. Bahkan betah sekali mengurung diri di ruang kerjanya.Â
Wajahnyapun sayu tak begitu nampak bergairah, sebab belakangan baru ia tahu ternyata istrinya sudah hamil 3 bulan.Â
"Entah anak siapa itu. Huh, mampuslah aku!" Pikirnya.***
Tasikmadu, 210119.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H