[caption caption="Ilustrasi - daerah tambang (Shutterstock)"][/caption]Setiap hendak berziarah ke makam Ibu, Salikun akan selalu menghentikan mobilnya di depan areal tambang minyak Kandang Kepiting. Sambil berdiri mematung, matanya yang tertutup kaca mata hitam tidak pernah lepas menatap deretan gentong raksasa yang menyembul di balik pagar pembatas dengan jalan raya.
Jika ada seseorang yang bertanya, sedang apa Salikun di sana. Ia akan menjawabnya dengan lugas. “Aku menunggu Bapakku yang sedang berenang di gentong raksasa itu.”
Salikun masih mengingatnya dengan baik. Saat itu untuk pertama kalinya ia melihat bule dengan sangat jelas. Sebelumnya hanya tahu dari televisi yang biasa ia tonton di balai desa sepulang mengaji di langgar Kyai Rajab. Kulitnya putih dengan totol kemerah-merahan. Mata agak besar. Tubuhnya tinggi. Beberapa di antara mereka ada juga yang berambut hitam tapi bermata sipit, mirip Babah Liong Gempal.
Sejak kedatangan bule-bule itu, truk besar hilir mudik keluar masuk desa membawa berbagai macam bahan material pembangunan. Dan tepat setelah tiang raksasa dipancangkan, Desa Kandang Kepiting tidak lagi sepi. Desa di pinggir pantai yang sangat miskin dengan sengatan bau ikan laut yang khas itu berubah menjadi sibuk. Deru mesin berdesing-desing memekakkan telinga. Tanah dikeruk dalam-dalam membentuk parit yang menganga lebar, lalu pipa-pipa raksasa ditanam saling bersambungan. Entah berujung sampai ke mana.
Desa yang dulunya gelap kini berubah benderang, yang dulunya terisolir sekarang punya akses jalan ke mana-mana. Sepanjang mata memandang, terhampar kolam besi raksasa dengan pipa yang memanjang tak berujung. Kandang Kepiting yang dulunya tidak dikenal kini menjadi pusat perhatian karena di dalamnya mengandung jutaan liter minyak mentah yang siap diolah.
Waktu itu Salikun masih sangat kecil. Baru berumur sembilan tahun. Masih bercelana pendek dekil dan tidak pernah memaki baju jika ke mana-mana. Masih suka mandi di tepi pantai bersama teman-temannya. Masih suka menemui Hasnah untuk minta diajarkan menggambar. Ya, Hasnah, teman sekelasnya yang sangat pandai menggambar. Tahun lalu, Hasnah mewakili sekolah untuk ikut lomba menggambar tingkat kecamatan. Walaupun tidak mendapat juara, Salikun tetap bangga kepada Hasnah.
“Aku ingin sekali punya gambar gunung, tapi yang gambar harus kamu.” pinta Salikun kepada Hasnah suatu sore di beranda rumahnya yang teduh.
“Aku pernah menggambar gunung, tapi hasilnya jelek.”
“Jelek juga tidak apa-apa. Aku senang asal kamu yang gambar.”
“Aku belum pernah melihat gunung, Kun.”
“Kamu niru saja. Di buku-buku kan ada. Terus di televisi juga ada.”
Hasnah terdiam. Ragu untuk menyanggupi permintaan Salikun. Pikiran kecilnya mengatakan kalau ia tidak sanggup menggambar objek yang belum pernah dilihatnya.
“Bagaimana kalau gambar laut saja?” Hasnah menawarkan tema lain supaya Salikun tidak kecewa.
“Kalau gambar laut sudah banyak. Dari kamu saja ada tiga. Belum gambar yang aku buat sendiri.”
Hasnah terdiam berpikir. “Oh ya, kamu pernah dengar kan, katanya di bawah tanah desa kita banyak sekali minyak?”
Salikun mengangguk.
“Aku gambar pabrik minyak saja, ya?” lanjut Hasnah. “Aku akan lukis semua keramaian yang ada di pabrik minyak. Bagaimana?”
“Bikin yang bagus ya?”
Lalu Hasnah pun mulai mencoret-coret kertas putih kosong dengan pensilnya. Salikun hanya memperhatikan dengan bangga, sesekali ia mencuri pandang Hasnah yang sedang asyik menggambar.
Jika magrib menjelang, Salikun dan kawan-kawannya akan segera berlarian memenuhi langgar kecil di pinggir desa untuk mengaji al-Quran pada Kyai Rajab. Di tengah suasana riuh rendah, sesekali terdengar lengkingan keras Kyai Rajab yang membenarkan bacaan muridnya yang kurang tartil.
Selepas sembahyang isya, suasana makin sepi. Yang terdengar hanya jeritan panjang jangkrik ditingkahi semilirnya angin laut yang damai. Beberapa lelaki duduk mengobrol di pos ronda sambil menyeruput kopi panas. Di kejauhan, terdengar tembang syair kuno yang didendangkan dari salah satu rumah penduduk. Salimin, bapak Salikun, tampak ikut duduk di sana sambil menyedot rokok kawungnya. Menikmati malam sambil menunggu rekannya pulang melaut.
Dan bencana itu datang secara tiba-tiba. Di suatu siang yang terik, Salikun dan kawan-kawannya melihat iring-iringan mobil mewah yang mengarah ke bibir pantai. Salikun terkesiap karena orang yang menumpang mobil itu kebanyakan bule. Mereka bercakap-cakap satu sama lain, tapi Salikun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, yang ia dengar hanya rentetan kata yang tidak jelas artinya.
Salikun bangga karena desanya dikunjungi bule yang kulitnya berbeda. Bangga karena bahasa mereka sangat aneh sehingga ia tidak mengerti sama sekali. Bangga karena desanya yang tidak pernah tersentuh aspal mulus ternyata bisa juga dilalui mobil bagus.
Tetapi kebahagiaan dan kebanggaan itu mendadak sirna ketika beberapa hari kemudian Kuwu[1] Rastam mengumpulkan seluruh warganya di kantor kuwu. Salikun yang penasaran ikut juga berkumpul. Ia melihat ada beberapa lelaki berdasi yang bukan warga desanya turut hadir dan duduk di kursi depan bersama Kuwu Rastam.
Salikun tidak tahu persis apa yang dibicarakan saat itu, yang pasti sangat seru. Masing-masing berkata dengan lantang, bahkan Salimin terlihat sedemikian marah sambil menuding-nuding lelaki berdasi yang duduk di depan. Setelah pertemuan selesai, Salikun melihat banyak warga yang menggerutu kesal. Babah Liong Gempal yang biasanya selalu tertawa dan tersenyum pada semua orang juga pulang dengan muka menahan geram. Salikun melihat orang-orang berkerumun dengan muka tegang di setiap sudut desa.
Beberapa hari setelah pertemuan di kantor kuwu, rumah Salikun selalu dipenuhi orang siang dan malam. Beberapa mahasiswa dan wartawan juga mulai berdatangan. Salikun ingat, beberapa mahasiswa memasang papan bertuliskan ‘Tim Advokasi Pembangunan Tambang Minyak’ di depan rumahnya. Salikun tidak mengerti apa maksudnya. Yang jelas, makin hari Desa Kandang Kepiting makin ramai dan dipenuhi spanduk bernada protes.
“Pak, apa tidak sebaiknya kita menerima saja ganti rugi dari pemerintah?” kata Suratmi yang sedang menemani Salimin makan malam. Sementara Salikun sedang menggambar sesuatu di atas kertas sambil menelungkup di atas bale-bale tempat tidurnya.
“Terlalu kecil, Mak.” kata Salimin sambil terus mengunyah makanan. “Apalagi belum ada kejelasan mau tinggal di mana kita kalau desa ini benar-benar digusur untuk pembangunan tambang minyak.”
“Emak takut, Pak. Ngeri kalau sampai Bapak kenapa-kenapa. Mereka itu orang hebat, kita sebagai orang kecil pasti tidak akan bisa melawan mereka.”
“Aku juga tahu. Tapi aku kan tidak sendirian, Mak. Seluruh warga menolak ganti rugi yang diajukan pemerintah. Apalagi di belakang kita, ada mahasiswa yang siap membantu.”
Suratmi hanya bisa menghela napas panjang.
“Kamu berdoa saja, semoga usulan warga bisa diterima pemerintah.” kata Salimin yang sudah mengakhiri makannya. “Aku sendiri rela kalau desa kita jadi tambang minyak. Aku merasa bangga kalau suatu saat nanti hasil bumi desa kita akan bermanfaat bagi orang banyak.”
Suratmi terdiam. Dalam hati ia membenarkan perkataan suaminya. Namun tetap tidak bisa menghilangkan kegundahan yang menggelayut di pikirannya. Hati kecilnya berkata bahwa ada firasat buruk yang akan diterimanya. Entah apa.
Suasana desa makin mencekam. Apalagi setelah terjadi kebakaran yang menghanguskan lima rumah di pinggir desa. Tiap malam, beberapa pemuda selalu berjaga dan bersiaga penuh di sudut-sudut desa. Salikun dan kawan-kawan kecilnya lebih banyak tinggal di rumah karena dilarang orang tuanya keluar malam. Langgar Kyai Rajab semakin sepi dari aktivitas mengaji.
Puncak dari segala ketegangan terjadi saat warga bentrok dengan aparat pemerintah. Satu anak muda tewas tertembak peluru tajam di lehernya. Yang lebih menyakitkan, anak muda itu adalah Dirman, adik kandung Suratmi yang dikenal pendiam dan tidak banyak tingkah. Seharian Salikun menyaksikan Emak dan Neneknya menangis tiada henti meratapi kematian Dirman yang sia-sia.
Tidak lama berselang, segerombolan preman datang ke rumah Salikun. Salimin yang sedang khusuk sembahyang dzuhur langsung diseret. Salikun sangat benci melihatnya, ia berusaha menghalangi mereka karena mengganggu Bapaknya yang sedang sembahyang. Akibatnya Salikun malah ditampar dan terjatuh dengan dahi membentur pojok meja.
Suratmi tidak ada saat itu. Ketika mata Salikun terbuka, yang dilihat pertama kali adalah wajah Suratmi yang sedang menangis tersedu-sedu di sisinya.
Salimin tidak pernah muncul lagi sejak kejadian itu. Hilang entah ke mana seperti tertelan bumi. Semua instansi pemerintah mengaku tidak tahu menahu. Akhirnya Suratmi menganggap suaminya sudah meninggal dan mengikhlaskannya sebagai takdir Tuhan yang sudah digariskan.
“Bapakmu lagi berenang di gentong raksasa itu.” hibur Suratmi saat Salikun kecil merengek ingin ketemu Salimin. “Nanti juga Bapak pulang sendiri. Kita tunggu saja di rumah.”
Sejak saat itu, Salikun akan selalu setia berdiri di depan gentong raksasa tempat penyimpanan minyak. Apalagi setelah Ibunya meninggal karena menanggung beban rindu ingin bertemu Bapak. Salikun berharap Bapaknya muncul dari dalam gentong raksasa lalu mengajaknya bermain di pinggir pantai seperti dulu.
Kebiasaan itu terus Salikun lakukan sampai dewasa, sampai ia berhasil mendapat gelar sarjana hukum. Tiap pulang berziarah ke makam Suratmi, Salikun akan berdiri di depan deretan gentong raksasa yang menyembul di balik pagar pembatas antara tambang minyak dengan jalan raya. Ia masih menunggu Bapaknya yang sedang asyik berenang di sana.
Kini dari tempatnya berdiri, Salikun kembali menyaksikan hamparan kolam besar di dekat gentong raksasa. Pipa panjang bertumpuk satu sama lain, berlingkar mengitari seluruh kawasan yang pernah dinyatakan sebagai lumbung minyak nasional terbesar. Di lepas pantai, tempatnya bermain semasa kecil, berdiri dermaga yang menjorok ke tengah lautan. Beberapa kapal tanker raksasa hilir mudik mengantarkan minyak ke seluruh negeri.
Sangat kontras ketika mata Salikun melihat ke arah timur. Sebuah perkampungan nelayan menyempil di balik pagar raksasa yang menjulang tinggi. Lahan mereka tidak terkena penggusuran sewaktu tambang minyak didirikan. Tidak ada perubahan di sana, masih seperti dulu. Gurat-gurat kemiskinan terlihat jelas di antara rerimbunan pohon.
“Masih lama ya, Mas?” sebuah suara membuyarkan lamunan Salikun. Ia menoleh ke arah mobil, di sana ada seorang perempuan cantik yang sedang duduk di bangku depan mobil.
Salikun tidak menjawab, ia malah menunjuk ke sebuah arah. “Hasnah, kamu ingat nggak, di tanah yang sekarang berdiri menara raksasa itu, dulu kamu sering mengajariku menggambar.”
Hasnah lalu keluar dari mobil dan berdiri di samping Salikun, melihat ke arah menara. “Iya. Aku masih ingat, Mas. Saat itu kamu selalu maksa, padahal aku nggak bisa menggambar objek yang kamu minta.”
Suami istri itu tertawa bersama mengingatnya.
“Oh ya, Mas. Kita jadi ziarah ke makam Ibu, kan?”
“Jadi.”
“Ziarah sekarang saja, yuk. Kalau kelamaan di sini, takut pulang ke Jakartanya kemalaman. Kasihan anak-anak.”
Salikun mengangguk. Hasnah langsung menggamit lengan Salikun, mengajaknya jalan ke mobil. Ketika hendak masuk mobil, seorang tua bercambang lebat dengan baju compang-camping melintas. Seluruh tubuhnya hitam karena debu bercampur keringat. Rambutnya acak-acakan. Matanya kosong tanda tidak ada kehidupan di dalamnya. Langkahnya gontai seperti memikul beban berat. Ia menengok ke arah gentong raksasa, lalu tangannya menuding-nuding sambil bergumam tidak jelas. Kemudian berjalan kembali sambil terkekeh-kekeh.
Salikun mengamati orang tua itu. Ia melihat tatapan mata orang tua itu yang kosong, tapi entah kenapa ia merasa seperti begitu dekat dengannya. Mata yang pernah hilang tetapi sangat ia kenal.
“Bapak....” ucap Salikun sangat lirih. Bahkan terlalu lirih sampai telinganya sendiri tidak bisa mendengar apa yang baru diucapkannya.
***
Dewa Ruci, 2015
[1] Kepala Desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H