Mohon tunggu...
Ruslan Ghofur
Ruslan Ghofur Mohon Tunggu... Script Writer -

Penulis Skenario | Santri Teater Zat | @ruslanghofur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kampung Minyak

19 Januari 2016   14:50 Diperbarui: 19 Januari 2016   18:11 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasnah terdiam. Ragu untuk menyanggupi permintaan Salikun. Pikiran kecilnya mengatakan kalau ia tidak sanggup menggambar objek yang belum pernah dilihatnya.

“Bagaimana kalau gambar laut saja?” Hasnah menawarkan tema lain supaya Salikun tidak kecewa.

“Kalau gambar laut sudah banyak. Dari kamu saja ada tiga. Belum gambar yang aku buat sendiri.”

Hasnah terdiam berpikir. “Oh ya, kamu pernah dengar kan, katanya di bawah tanah desa kita banyak sekali minyak?”

Salikun mengangguk.

“Aku gambar pabrik minyak saja, ya?” lanjut Hasnah. “Aku akan lukis semua keramaian yang ada di pabrik minyak. Bagaimana?”

“Bikin yang bagus ya?”

Lalu Hasnah pun mulai mencoret-coret kertas putih kosong dengan pensilnya. Salikun hanya memperhatikan dengan bangga, sesekali ia mencuri pandang Hasnah yang sedang asyik menggambar.

Jika magrib menjelang, Salikun dan kawan-kawannya akan segera berlarian memenuhi langgar kecil di pinggir desa untuk mengaji al-Quran pada Kyai Rajab. Di tengah suasana riuh rendah, sesekali terdengar lengkingan keras Kyai Rajab yang membenarkan bacaan muridnya yang kurang tartil.

Selepas sembahyang isya, suasana makin sepi. Yang terdengar hanya jeritan panjang jangkrik ditingkahi semilirnya angin laut yang damai. Beberapa lelaki duduk mengobrol di pos ronda sambil menyeruput kopi panas. Di kejauhan, terdengar tembang syair kuno yang didendangkan dari salah satu rumah penduduk. Salimin, bapak Salikun, tampak ikut duduk di sana sambil menyedot rokok kawungnya. Menikmati malam sambil menunggu rekannya pulang melaut.

Dan bencana itu datang secara tiba-tiba. Di suatu siang yang terik, Salikun dan kawan-kawannya melihat iring-iringan mobil mewah yang mengarah ke bibir pantai. Salikun terkesiap karena orang yang menumpang mobil itu kebanyakan bule. Mereka bercakap-cakap satu sama lain, tapi Salikun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, yang ia dengar hanya rentetan kata yang tidak jelas artinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun