Suasana desa makin mencekam. Apalagi setelah terjadi kebakaran yang menghanguskan lima rumah di pinggir desa. Tiap malam, beberapa pemuda selalu berjaga dan bersiaga penuh di sudut-sudut desa. Salikun dan kawan-kawan kecilnya lebih banyak tinggal di rumah karena dilarang orang tuanya keluar malam. Langgar Kyai Rajab semakin sepi dari aktivitas mengaji.
Puncak dari segala ketegangan terjadi saat warga bentrok dengan aparat pemerintah. Satu anak muda tewas tertembak peluru tajam di lehernya. Yang lebih menyakitkan, anak muda itu adalah Dirman, adik kandung Suratmi yang dikenal pendiam dan tidak banyak tingkah. Seharian Salikun menyaksikan Emak dan Neneknya menangis tiada henti meratapi kematian Dirman yang sia-sia.
Tidak lama berselang, segerombolan preman datang ke rumah Salikun. Salimin yang sedang khusuk sembahyang dzuhur langsung diseret. Salikun sangat benci melihatnya, ia berusaha menghalangi mereka karena mengganggu Bapaknya yang sedang sembahyang. Akibatnya Salikun malah ditampar dan terjatuh dengan dahi membentur pojok meja.
Suratmi tidak ada saat itu. Ketika mata Salikun terbuka, yang dilihat pertama kali adalah wajah Suratmi yang sedang menangis tersedu-sedu di sisinya.
Salimin tidak pernah muncul lagi sejak kejadian itu. Hilang entah ke mana seperti tertelan bumi. Semua instansi pemerintah mengaku tidak tahu menahu. Akhirnya Suratmi menganggap suaminya sudah meninggal dan mengikhlaskannya sebagai takdir Tuhan yang sudah digariskan.
“Bapakmu lagi berenang di gentong raksasa itu.” hibur Suratmi saat Salikun kecil merengek ingin ketemu Salimin. “Nanti juga Bapak pulang sendiri. Kita tunggu saja di rumah.”
Sejak saat itu, Salikun akan selalu setia berdiri di depan gentong raksasa tempat penyimpanan minyak. Apalagi setelah Ibunya meninggal karena menanggung beban rindu ingin bertemu Bapak. Salikun berharap Bapaknya muncul dari dalam gentong raksasa lalu mengajaknya bermain di pinggir pantai seperti dulu.
Kebiasaan itu terus Salikun lakukan sampai dewasa, sampai ia berhasil mendapat gelar sarjana hukum. Tiap pulang berziarah ke makam Suratmi, Salikun akan berdiri di depan deretan gentong raksasa yang menyembul di balik pagar pembatas antara tambang minyak dengan jalan raya. Ia masih menunggu Bapaknya yang sedang asyik berenang di sana.
Kini dari tempatnya berdiri, Salikun kembali menyaksikan hamparan kolam besar di dekat gentong raksasa. Pipa panjang bertumpuk satu sama lain, berlingkar mengitari seluruh kawasan yang pernah dinyatakan sebagai lumbung minyak nasional terbesar. Di lepas pantai, tempatnya bermain semasa kecil, berdiri dermaga yang menjorok ke tengah lautan. Beberapa kapal tanker raksasa hilir mudik mengantarkan minyak ke seluruh negeri.
Sangat kontras ketika mata Salikun melihat ke arah timur. Sebuah perkampungan nelayan menyempil di balik pagar raksasa yang menjulang tinggi. Lahan mereka tidak terkena penggusuran sewaktu tambang minyak didirikan. Tidak ada perubahan di sana, masih seperti dulu. Gurat-gurat kemiskinan terlihat jelas di antara rerimbunan pohon.
“Masih lama ya, Mas?” sebuah suara membuyarkan lamunan Salikun. Ia menoleh ke arah mobil, di sana ada seorang perempuan cantik yang sedang duduk di bangku depan mobil.