Salikun tidak menjawab, ia malah menunjuk ke sebuah arah. “Hasnah, kamu ingat nggak, di tanah yang sekarang berdiri menara raksasa itu, dulu kamu sering mengajariku menggambar.”
Hasnah lalu keluar dari mobil dan berdiri di samping Salikun, melihat ke arah menara. “Iya. Aku masih ingat, Mas. Saat itu kamu selalu maksa, padahal aku nggak bisa menggambar objek yang kamu minta.”
Suami istri itu tertawa bersama mengingatnya.
“Oh ya, Mas. Kita jadi ziarah ke makam Ibu, kan?”
“Jadi.”
“Ziarah sekarang saja, yuk. Kalau kelamaan di sini, takut pulang ke Jakartanya kemalaman. Kasihan anak-anak.”
Salikun mengangguk. Hasnah langsung menggamit lengan Salikun, mengajaknya jalan ke mobil. Ketika hendak masuk mobil, seorang tua bercambang lebat dengan baju compang-camping melintas. Seluruh tubuhnya hitam karena debu bercampur keringat. Rambutnya acak-acakan. Matanya kosong tanda tidak ada kehidupan di dalamnya. Langkahnya gontai seperti memikul beban berat. Ia menengok ke arah gentong raksasa, lalu tangannya menuding-nuding sambil bergumam tidak jelas. Kemudian berjalan kembali sambil terkekeh-kekeh.
Salikun mengamati orang tua itu. Ia melihat tatapan mata orang tua itu yang kosong, tapi entah kenapa ia merasa seperti begitu dekat dengannya. Mata yang pernah hilang tetapi sangat ia kenal.
“Bapak....” ucap Salikun sangat lirih. Bahkan terlalu lirih sampai telinganya sendiri tidak bisa mendengar apa yang baru diucapkannya.
***
Dewa Ruci, 2015