Pada kenyataannya, sekolah tempat saya mengajar sangat memprihatinkan. Bangunan sekolah nampak tak terurus. Pertama kali saya bertugas, rasa sedih menggayut perasaan. bayangkan, bangku dan meja  dalam kondisi  rusak. Kelas kelas kotor, mirip gudang yang telah lama tak terpakai. Pintu dan jendelanya banyak yang bolong. Sarana kamar mandi kondisinya 'horor'. Jauh dari nilai sehat.Â
Sekolah ini dihidupkan kembali setelah mati suri selama beberapa tahun karena salah manajemen. Murid yang tersisa , tak lebih dari hitungan jari kedua belah tangan. Hal krusial pertama yang dilakukan adalah mencari murid baru , caranya dengan jemput bola. Berkeliling mencari orangtua yang mau menitipkan anak disekolah  ini.Â
Sasarannya, para petani yang tidak mampu. Para pekerja kasar yang tidak memiliki penghasilan tetap, para buruh lepas yang hidup dibawah garis kemiskinan. Awalnya sulit , karena memang tak mudah memberikan keyakinan bahwa sekolah yang telah mati suri ini bisa 'dihidupkan' kembali. Tak ada jejak  yang meyakinkan yang  bisa ditampilkan kepada calon wali murid.  Semuanya masih berupa janji.Â
Setelah mengandalkan upaya habis habisan, akhirnya kemudahan itu datang juga. Satu per satu calon murid berdatangan. Terkumpulah sekitar 30 anak dijenjang SMP dan 32 anak dijenjang SMA. Jadilah sekolah kehidupan ini dimulai.
Banyak pihak yang ikut terlibat atau dilibatkan dalam membantu sekolah ini bergeliat hidup. Sebenarnya sambil mencari murid, sebagian tim juga merekrut tenaga pengajar. Nah, khusus untuk guru dicari dari orang orang yang memiliki kapasitas dibidangnya. Tentu ketika direkrut bukan iming iming gaji besar tapi iming iming pemberdayaan anak tidak mampu dan anak putus sekolah. Gajinya? Â pahala di surga kelak, Amin.
Walau sulit , akhirnya terkumpul juga sekitar 12 orang tenaga pengajar. Uniknya, tenaga pengajarnya ini tidak seluruhnya berprofesi sebagai  guru. Ada yang asisten manajer di sebuah perusahaan swasta, ada yang pemuda tani, ada praktisi media cetak, ada blogger, ada tokoh agama, ada pengusaha UMKM, ada pendamping sosial. Hanya beberapa orang yang benar benar sebagai guru.Â
setelah beres, calon murid dan calon tenaga pengajar didapat. Maka sekarang mencari dana operasional sekolah. Tentu dana ini tidaklah sedikit karena sekolah boarding , anak anak harus diberi makan tiga hari sekali, diberi tempat tidur. Pokoknya fasilitas tempat tinggal yang layak.Â
Untuk menanggulangi permasalahan dana operasional, maka dicarilah para donatur. Beberapa pihak yang diminta jadi donatur adalah pihak birokrat dari pemerintahan , pengusaha, tokoh masyarkat, tokoh agama hingga beberapa perusahaan swasta. Hasilnya, banyak pihak yang mau membantu.Â
Ada camat yang mau mengeluarkan uang pribadinya, ada pengusaha tempe yang mau berderma setiap pagi dengan beberapa potong tempe, ada pengusaha  isi ulang air meiral yang mau memberikan beberapa galon air secara gratis, ada pengusaha konveksi yang mau memberikan harga miring untuk membuatkan baju seragam sekolah.
Pokoknya, banyak pihak yang terlibat. Banyak pula warga yang sengaja datang ke sekolah untuk memberikan bantuan yang mereka punya. Tak jarang ada warga yang memberikan kambing hidup untuk dipotong dan dijadilan lauk makanan para siswa. Ada yang membantu membawa beras beberapa karung. Ada pula yang membantu memberikan peralatan sekolah . Pokoknya banyak pihak yang terlibat.
Maka, tak berlebihan bila sekolah ini adalah miniatur dari gerakan semesta dalam konsep pendidikan. Mulai dari para birokrat, dunia usaha, pengusaha UMKM , tokoh masyarakat , tokoh agama hingga warga biasa ikut turut serta dalam menghidupkan sekolah.