[caption caption="Kepadatan saat jam sibuk | Foto : Rushan Novaly"][/caption]
Moda transportasi darat berbasis rel sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum bangsa ini merdeka. Kereta sudah hadir di negeri ini lebih dari seratus tahun. Khusus dipulau Jawa , jaringan rel antar kota besar menjadi urat nadi transportasi yang penting. Jalur kereta api juga di bangun pemerintah Belanda di pulau Sumatra dan Sulawesi.
Di zaman Belanda jalur kereta api dibangun untuk kepentingan kolonial . Selain sebagai sarana transportasi manusia , kereta api di zaman Belanda lebih banyak digunakan mengakut hasil bumi dari Kegiatan Tanam Paksa yang dijalankan pemernintahan Hindia Belanda ketika itu.
Jalan raya pada zaman itu tidak efektif dan terlalu berbahaya bagi keselamatan pihak belanda. Maka pada tahun 1840 mulai dipikirkan pembuatan jalur kereta api. Adalah Kolonel J.H.R Van der Wijck orang yang pertama kali menggagas adanya kereta api di Hindia Belanda.
Pada tanggal 17 Juni 1864 , Gubernur Jenderal Hindia Belanda , Baron Sloet Van den Beele melakukankan pencangkulan pertama di desa Kemijen di Semarang sebagai tanda dimulainya pembangunan jalur kereta menuju Tanggung yang berjarak 26 Km. Pembangunan yang diprakarsai oleh “Nederland Indische Spoorweg Maatschaappi (NIS) selesai pada tanggal 10 Agustus 1867 dan sejak saat itu beroperasilah kerata api pertama di Indonesia.
Pemerintah Belanda sangat berkepentingan untuk terus membangun jalur kereta di negeri jajahannya ini maka dibangunlah jalur kereta di Aceh (1874) , Sumatra Utara (1886), Sumatra Barat (1891), Sumatra selatan (1914) , Makassar (1922) . Pemerintah Hindia Belanda juga sudah membuat rencana pembangunan jalur Kereta di pulau Kalimantan, Bali bahkan Nusa tenggara barat. Total selama Belanda menjajah telah membangun rel kereta sepanjang 6.811 Km.
Jaringan Kereta Listrik
Kereta api zaman Belanda mayoritas menggunakan tenaga dari pembakaran batubara. Lokomotifnya menyemburkan asap ketika berjalan. Ketika listrik telah ditemukan dan menjadi sumber daya energi baru. Penggunaan listrik untuk kereta pun dilakukan.
Maka sejak tahun 1918 jalur kereta dari Batavia menuju Buitenzorg (Bogor) sudah menggunakan listrik. Menyusul jalur Meester cornelis (Jatinegara) ke Tanjung Priuk yang menggunakan listrik pada tahun 1925.
Maka sejak 1925 jalur Jabotabek telah menggunakan tenaga listrik. Inilah awal dari Kereta Rel Listrik (KRL) yang terus bertransformasi hingga hari ini menjadi commuter line. Kereta listrik menjadi salah satu andalan sistem transportasi di Jabodetabek. Setelah Indonesia merdeka kereta peninggalan belanda masih terpakai hingga peremajaan dilakukan pada zaman orde baru. Jepang menjadi negara penghasil kereta listrik yang pertama kali digunakan Indonesia. Maka sejak saat itu kereta listrik yang dipakai Indonesia adalah kereta listrik buatan Jepang .
Perkembangan kereta listrik di jabotabek terus bergerak seiiring laju pertumbuhan penduduk. Lahirnya kota penyangga seperti Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang membuat arah perkembangan hunian bergerak ke luar kota Jakarta. Jakarta sebagai Ibukota negara, pusat ekonomi dan bisnis menjadi magnet urbanisasi.
Elektrifikasi jalur kereta akhirnya terus bergerak . Selain Jakarta-Bogor, lalu Bekasi , Kota Tangerang hingga menuju Maja di Banten selatan . Kereta listrik menjadi transportasi idola dan tulang punggung tranportasi dari Jakarta ke kota kota penyangga.
[caption caption="Beda jam beda gaya | Foto : Rushan Novaly"]
Commuter Line Sebuah Sistem Terpadu Transportasi Massal
Kehadiran kereta listrik didalam jajaran kereta api di Jabotabek akhirnya menjadi dominan. Maka perlu dibaut manajemen pengelolan yang lebih serius maka pada tahun 2008 secara resmi dibentuklah perusahan baru PT KAI Commuter Line Jabodetabek (KJC) . Perusahan anak dari PT KAI ini berada pada wilayah oerasi DAOP 1.
PT KCJ terus bergerak dan berkiprah dengan melakukan modernisasi, penataan ulang jalur, penambahan kereta hingga melakukan pembenahan sistem manajemen dan sistem tiket. PT KCJ pada tahun 2011 melakukan gebrakan, diantaranya :
• Menyederhanakan 37 rute perjalanan menjadi 5 rute perjalanan
• Menghapuskan KRL Ekspres
• Penerapan gerbong khusus wanita
• Menganti nama KRL ekonomi-AC menjadi Commuter line
Layanan commuer line bukan saja di dalam gerbong kereta tapi juga menyasar hingga ke layanan di stasiun, sistem tiketing dan pengadaan petugas keamaan disetiap rangkaian kereta.
Commeter line terus tumbuh menjadi moda transportasi yang sangat penting. Saat ini ada PT KCJ melayani 6 rute utama . Semua rute terintegrasi , sehingga setiap penumpang bisa melakukan transit untuk melanjutkan perjalanan di stasiun yang ditetapkan sebagai stasiun transit.
Adapun 6 jalur utama yang dikelola PT KCJ saat ini:
1. Jalur Jakarta-Depok-Bogor. Jalur ini melewati tak kurang dari 24 stasiun tujuan , inilah jalur tertua karena telah dioperasikan sejak tahun 1930.
2. Jalur Jakarta-Bekasi-Cikarang. Melewati tak kurang 16 stasiun tujuan. Dioperasikan sejak tahun 1987 dan menurut rencana akan dibuka jalur Bekasi- Cikarang pada tahun 2017.
3. Jalur Lingkar Jatinegara – Kampung Bandan – Depok-Bogor-Nambo. Jalur ini dibuka sejak 1987. Memiliki 28 stasiun tujuan (hingga bogor) dan 24 stasiun tujuan (hingga Depok)
4. Jalur Jakarta – Maja. Melewati 17 stasiun tujuan (hingga Maja) beroperasi sejak tahun 2013.
5. Jakarta – Kota Tangerang. Melewati 11 stasiun tujuan . beropersi sejak tahun 1997. Jalur ini sedang dalam pembangunan jalur kereta menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
6. Jalur Feeder. Jalur ini adalah jalur dalam kota yang melayani stasiun Jatinegara menuju Manggarai. Melewati 7 stasiun tujuan . Beroperasi sejak 2014.
Modernisasi Sistem Tiket dan Tarif
PT KCJ selain membenahi sistem kenyamanan didalam rangkaian kereta juga membenahi sistem tiket. Sistem tiket elektronic menjadi sebuah terobosan besar. Bahkan menjadi pionir dalam sistem tiket yang diikuti oleh moda Transjakarta (Busway).
Sistem tiket elektronik ini menjadi sebuah terobosan yang membuat wajah kereta api berubah menjadi modern dan profesional. Perubahan tiket manual berupa kertas menjadi e-ticketing sudah dimulai sejak tahun 2012.
Perubahan dari Kartu Trayek Bulanan(KTB)/ Kartu langganan sekolah(KLS) secara bertahap hingga tanggal 1 Juli 2013. Pada hari itu adalah tonggak dimulainya kartu elektronik yang dikenal dengan istilah Commuter Electronic Ticketing (Commet).
Kartu electronic ini tersedia dalam bentuk singgle trip dan Multi Trip . calon penumpang commuter melaksanakan transaksi pembelian katu singgle trip di loket. Pada awalnya kartu diberikan tidak berjamin. Ketika hal itu terjadi , ribuan kartu hilang di bawa penumpang tak bertanggung jawab. PT KCJ lalu melakukan sistem kartu berjamin. Awalnya uang jaminan kartu hanya Rp 5.000 dan dinaikkan menajdi Rp 10.000 dengan masa pengembalian selama 7 hari.
Untuk kartu multi trip (KMT) yang dikeluarkan PT KCJ, penumpang membeli kartu dan sejumlah saldo. Dengan penggunaan KMT penumpang tidak direpotkan untuk antri membeli tiket dan antri untuk meminta uang jaminan kartu. KMT bisa diisi ulang disetiap loket stasiun. KMT juga memberlakukan saldo minimal. Keuntungan kartu multi trip lainnya adalah terhindar dari denda suplisi .
Selain kartu yang dikeluarkan PT KCJ , mulai 8 Desember 2013 diberlakukan penerimaan kartu prabayar bank yang biasa disebut e-money . Kartu prabayar bank pertama yang diterima adalah Flazz BCA lalu berturut turut kartu Mandiri E-Money, Brizzi, BNI Tapcash . Sayangnya kartu yang dikeluarkan pihak bank tersebut tidak bisa diisi ulang di loket stasiun dan hanya bisa diisi di merchant yang bekerja sama atau loket bus transjakarta.
Untuk penggunaan tiket electronik ini sangat memudahkan banyak pihak. Berikut keuntungan yang didapatkan:
• Dengan kartu Multi Trip tak perlu lagi membawa uang kecil didalam dompet.
• Hanya sekali bayar (saldo) tak perlu lagi antri untuk membayar tarif perjalanan atau antri mengambil uang jaminan kartu.
• Bisa diisi ulang di semua loket stasiun kereta (untuk kartu KCJ)
• Mengurangi dampak sampah kertas pada tiket manual
• Untuk pihak PT KCJ, mengurangi angka kerugian akibat penumpang tak membayar tiket diloket. (dulu banyak oknum petugas KAI yang mengutip uang tiket diatas kereta untuk kepentingan pribadi )
• Mudah untuk mendapatkan data jumlah penumpang pada sebuah stasiun. Menghitung angka pergerakan manusia dari satu stasiun ke stasiun lainnya.
PT KCJ awalnya menerapkan tarif normal bagi pengguna commuter line. Namun karena pihak pemerintah melalui kementrian perhubungan memberlakukan Public Service Obligations (PSO) maka tarif yang dikenakan adalah tarif bersubsidi.
Tarif yang dikenakan adalah tarif progresif. Awalnya menggunakan hitungan jumlah stasiun namun saat ini tarif menggunakan hitungan jarak km.
Cerita Menggunakan KRL ‘Ujicoba’
Penulis adalah penggemar setia angkutan publik. Diantara semua angkutan publik , Commuter line adalah angkutan publik yang paling sering penulis gunakan untuk menempuh perjalanan yang dituju. Penulis sendiri tinggal tak jauh dari stasiun Tigaraksa.
Perjalanan dari dan ke Jakarta selalu menggunakan jasa commuter line, selain murah dalam soal tarif, commuter line adalah moda yang paling cepat menuju Jakarta. Kalau soal kenyamanan , penulis merasakan masih kurang karena jumlah penumpang tak sebanding dengan jumlah gerbong commuter. Tumpukan penumpang yang overload setiap hari . Apalagi jam jam sibuk ketika berangkat dan pulang kerja. Jangankan mendapatkan tempat duduk, bisa masuk kedalam rangkaian kereta dan berdiri dengan nyaman saja sudah sebuah ‘berkah’. Kalau bisa duduk malah menjadi ‘mukjizat’ tersendiri.
Namun begitu harus diakui commuter line masih dalam perkembangan. Ibarat bayi , KCJ terus bertumbuh. Saat ini sedang diberlakukan penambahan jumlah gerbong dari 8 rangkaian menjadi 10 hingga 12 rangkaian. Pembangunan peron di stasiun terus dilakukan.
Tapi sebelumnya penulis ingin bercerita sebuah kisah masakecil penulis naik KRL. Saat itu penulis masih duduk dikelas 6 SD. Penulis dan seorang kawan sangat ingin sekali naik kereta. Tentu sebagai anak usia 12 tahun dan hidup sederhana di lingkungan padat Jakarta ( masa kecil penulis dihabiskan di Kemayoran-Jakarta Pusat) tak memiliki uang untuk sekedar melakukan perjalanan kereta dalam kota. Dalam bayangan penulis tiket naik KRL itu mahal dan pasti tak terjangkau.
Mulailah kami berdua mencari akal untuk bisa naik KRL tanpa bayar. Kawan penulis yang memang tinggal tak jauh dari stasiun Senen punya informasi tentang kereta KRL yang sedang diuji coba. Seingat penulis kereta itu keren sekali, warnanya silver, pintunya bisa menutup secara otomatis. Sudah menggunakan AC . Tempat duduknya juga cukup nyaman bersisian memanjang berwarna biru tua.
Penulis dan seorang teman akhirnya nekat memasuki stasiun Senen (dulu masuk stasiun masih mudah dan gampang diakali) . Kami berdua ketika itu masih bercelana pendek dengan kaos . Mungkin orang orang ketika itu menganggap kami gembel yang sedang plesir. Jadi tak memancing perhatian petugas stasiun. Kami menunggu hingga KRL yang kami incar berhenti , tujuan kami juga tidak jelas yang penting bisa naik KRL.
Didalam KRL kami mengambil posisi dekat pintu. Karena kereta ini masih dalam ujicoba menurut teman penulis tak dikenakan tarif alias gratis. Dengan perasaan senang kami menikmati perjalanan KRL yang nampaknya menuju arah jatinegara . Teman penulis ini nampaknya sudah sering naik kereta sehingga ia bisa mengetahui jalur kereta. Di stasiun Jatinegara kami turun dan berganti KRL yang punya tujuan ke arah Bogor.
Lagi lagi, kami lakukan dengan senyap. Teman penulis ini juga memberitahukan KRL yang kami naiki juga sedang dalam ujicoba alias gratis. Penulis ketika itu percaya saja. Pokoknya naik KRL gratis tanpa bayar. Padahal uang dikantong celana sudah penulis siapkan cukup besar untuk jaga jaga bila harus membeli tiket. Bagaimana penulis bisa membawa uang cukup besar inipun ada ceritanya tersendiri. Lain kali akan penilis ungkapkan lewat tulisan terpisah.
Perjalan kali ini jauh lebih seru. Penulis bisa menyaksikan KRL bergerak sangat lincah, suaranya tidak bising seperti kereta diesel. Apalagi ada AC yang membuat gerbong jadi sejuk. Kami berdua bolak balik menyusuri setiap gerbong. Seingat penulis jumlah penumpang masih sedikit (ketika itu tahun 1987) . Yang naik dan turun juga tak seperti saat ini. Didalam KRL tak ada petugas. Tak ada satpam pengawal kereta.
Singkat cerita tibalah kami berdua ditujuan akhir di stasiun Bogor. KRL nampaknya tak segera kembali . Dan ketika itu jumlah KRL masih sedikit tidak seperti saat ini. Kami akhirnya terdampar di stasiun Bogor. Uniknya kami tak merasa khawatir. Kami malah keluar stasiun dan jalan jalan disekitaran taman topi. Dimana banyak pedagang dengan berbagai macam barang dagangan. Karena masih anak anak, kami sangat menikmati apa saja yang menarik hati. Sambil duduk duduk menunggu KRL yang akan kembali ke Jakarta. Menjelang sore, barulah ada pengumuman KRL menuju stasiun Kota-Jakarta. Kami berdua segera berlari menuju KRL , tentu dengan cara yang tak biasa. Melewati celah yang kami bisa lolos. Penulis sempat bertanya kepada teman ini kenapa kita tak membeli tiket. Jawabanya sama; KRL ini sedang ujicoba jadi tak perlu membeli tiket alias gratis.
Itu cerita masa kecil penulis. Ceritanya tentu berbeda dengan keadaan saat ini. KRL yangsudah berubah menjadi commuter line sudah memiliki jadwal yang lengkap dan dalam rentang waktu yang tak terlalu jauh sudah tersedia kembali commuter ke tujuan yang sama. Selain itu tentu kejadian naik kereta tanpa tiket sulit dilakukan karena sistem masuk (tap in) dan sistem keluar (tap out) akan membuat penumpang gelap berpikir dua kali.
Overload yang Segera harus diatasi
Mbludaknya jumlah penumpang commuter line memang sebuah kenyataan yang baik. Satu sisi orang mulai beralih dari kendaraan pribadi menuju kendaraan publik. Beban jalan akan berkurang karena mobil dan motor pribadi akan terparkir dikantung kantung stasiun. Pemakaian bahan bakar minyak (BBM) juga bisa direduksi.
Namun , daya angkut commuter kian hari kian tak mampu alias overload. Jumlah kereta dengan jumlah orang tak sepadan. Penumpukan terjadi luar biasa, bila commuter sampai di stasiun sering terjadi salah pengertian yang berujung dengan ketegangan antara penumpang yang naik dan yang akan turun.
Begitu juga didalam gerbong , egoisme penumpang sering menuai pertikaian kecil . Apalagi penumpang yang sudah terlanjur duduk di kursi prioritas. Bila sudah begitu , penumpang lain memisahkan pertikaian antar dua penumpang yang merasa terusik. Itu masih hal sepele. Belum masalah kriminal dan pelecehan seksual didalam kereta.
Walau telah disediakan gerbong khusus wanita. Tetap saja tak mampu menampung jumlah seluruh wanita. Tak ayal beberapa kejadian tak pantas menimpa penumpang wanita. Hal ini nampaknya perlu menjadi pertimbangan pihak pengelola commuter untuk mencari cara paling efektif untuk memecahkan masalah penumpukan penumpang. Penyelesaiannya harus segera dan komprehensif , penambahan jumlah gerbong dari 8 ke 10 dan 12 gerbong memang solusi . Tapi hal ini belum tentu bisa mengatasi secara keseluruhan.
Commuter On The Track
Sebagai moda angkutan publik , commuter telah mengangkut jutaan orang dari dan kejakarta. Mobilitas orang yang tinggi menjadi hal yang wajar dalam negara yang tumbuh . sebagai tanda ekonomi bergerak positif . Commuter adalah alat tranportasi dalam menunjang pergerakan manusia.
Apa yang dilakukan dan di upayakan PT KCJ sudah dalam jalur yang benar. Tinggal dilakukan penyempurnaan. Perluasan tempat parkir, peluasan stasiun dan fasilitas pendukung lainnya. Disamping melakukan penyempurnaan sistem lalu lintas kereta yang kadang masih molor .
Masih ada PR yang harus segera diselesaikan. Namun bila melihat progres yang sudah dilakukan nampaknya wajah transportasi berbasis rel melalui commuter akan menjadi sesuatu hal yang membanggakan. Melihat perkembangannya pantaslah bila kita memberi apresiasi yang layak dan juga turut menjaga hal baik yang dilakukan KCJ dengan tidak melakukan pengrusakan fasilitas KCJ. Dan jangan lupa belilah tiket , jangan bilang ini kereta dalam ‘ujicoba’.
Salam commuter, jaya selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H