”Makasih ya! Besok waktu kamu sembuh aku pasti sudah hafal semuanya.”
Kesokkan harinya, Egha dilarang ibunya pergi ke sekolah. Ibunya justru mengajaknya pergi ke rumah Isan. Sesampainya di sana, Egha bingung melihat rumah Isan dipenuhi banyak orang.
”Tamunya banyak sekali, tapi Isan di mana?” gumamnya.
Egha tengak-tengok, mencari-cari di mana sahabat baiknya itu. Egha cemberut, “Tidak sopan,” celanya begitu melihat Isan tidur berselimut kain jarit di tengah ruangan.
Beberapa orang juga terlihat sibuk menggelar tikar. ”Ayo, gelar tikarnya untuk sholat!” perintah seseorang.
”Isan mau disholati?” tanya Egha dalam hati. Ia segera turun dari pangkuan ibunya untuk menyaksikan bagaimana Isan disholati. Isan disholati oleh kyai yang cukup terkenal di kampung itu diikuti oleh sejumlah laki-laki yang berbaris di belakang kyai tersebut. Egha sungguh merasa bangga melihat sahabatnya disholati banyak orang.
Egha memperhatikan bagaimana Isan disholati. Namun ia menjadi bingung karena gerakan sholat yang dilakukan orang-orang itu tidak seperti apa yang diajarkan Isan kepadanya. Setelah Isan selesai disholati, Egha dihampiri ibunya.
“Egha, ayo kita antar Isan!”
Egha menangis sambil menarik-narik baju ibunya dan berkata.
”Ibu, aku takut Isan tidak diizinkan masuk surga karena gerakan sholat orang-orang itu salah.”
”Salah?”