Pantas saja ketika saya masuk kelas anak-anak saling berbisik bahkan ada yang mengejek bahwa Barja tak punya bapak.Â
"Bu, Barja gak punya bapak," ledek temannya.
Mereka saling lempar jawaban dengan nada mengolok, maka saya menyampaikan, "Anak-anak kalian tidak boleh mengejek temanmu sendiri, siapa tahu bapaknya Barja bekerja jauh di luar pulau."
"Tidak bu, sejak kecil bapaknya nggak di rumah," kembali ada anak menimpali.
"Makanya kalian harus menyayangi dan mengasihi Barja. Saat kamu masih ditemani bapakmu, justru Barja sejak kecil sudah tidak bersama bapaknya."
"Kamu masih ingatkan, bu guru pernah membelikan celana Barja karena dia tidak punya seragam putih, kamu harus bersyukur. Sangu dan pakaian yang kamu miliki adalah hasil kerja keras  orang tuamu, sedang Barja dia hidup hanya dengan ibunya, pantaskah kalian mengolok-olok?" Tanyaku memberi pengertian pada siswa lain.
Seketika ruangan itu hening, butiran air mata Barja menetes, walaupun tanpa suara isak tangis.
"Ayo semua minta maaf pada Barja," pintaku pada anak-anak yang lain.
Ahirnya satu-per satu mereka berjabat tangan dan mengucapkan maaf kepada Barja.Â
Dari ilustrasi di atas, perlu kita tanamkan toleransi terhadap anak dengan sikap sebagai berikut: