Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Berikut Cara Menanamkan Sikap Toleransi pada Anak yang Suka Mengolok-olok Temannya

27 Januari 2022   14:53 Diperbarui: 28 Januari 2022   11:55 1805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengolok teman (Sumber: Ipoel via nakita.grid.id)

Saling menghormati adalah sebuah nasehat yang tak henti-hentinya diucapkan oleh banyak orang, baik itu ustad, kiai, guru, pakar politik, orang tua, tokoh masyarakat bahkan presiden sekalipun.

Kalimat sederhana yang selalu diulang-ulang oleh orang tua terhadap siapa saja yang pantas diberi nasehat. Mungkin kalimat itu pula yang menjadikan bangsa Indonesia terkenal dengan peradabannya yang sopan.

Saling menghormati terkait erat dengan saling menghargai. Toleransi yang tinggi menjadikan kemajemukan bangsa ini terawat, hidup rukun dan damai walaupun berbeda suku, agama, ras dan kasta.

Toleransi dapat menumbuhkan sikap saling menghormati dan saling menghargai. Dua sikap yang tanpa kita sadari telah tertanam dalam khazanah masyarakat Indonesia. 

Setiap hari kita berinteraksi dengan teman, tetangga, juga rekan kerja mengharuskan untuk mengedepankan dua sikap tersebut.

Sebagai manusia kita tak lepas dari kekurangan. Ada kalanya berbeda pendapat terhadap masalah yang ada di lingkungan kita. Dua sikap itulah yang kemudian kita semaikan dalam memelihara muamalah sehingga hubungan dengan orang-orang di sekitar tetap rukun dan harmonis.

Kita harus dapat menanamkan kedua sikap itu terhadap anak didik kita, seperti yang baru saja saya alami. 

Kemarin pagi pihak Dinas Pendidikan menginstruksikan semua siswa untuk mengumpulkan fotokopi kartu Kepala Keluarga atau yang biasa dikenal dengan sebutan KK.

Bermula dari terungkapnya hasil survey penduduk di Kabupaten Tuban masih banyak yang berpendidikan rendah. 

Setelah melakukan survey di lapangan, ditemukan bahwa identitas pendidikan di KK belum berubah, sebagian besar masih tertulis belum tamat SD atau masih sekolah SLTP atau sederajat, padahal sudah ada yang menamatkan SLTA ataupun sudah menjadi mahasisiwa.

Untuk itu Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan meremajakan kembali KK yang ada di masyarakat agar data menjadi valid sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

Sebut saja namanya Barja, siswa kelas lima itu tiba-tiba murung dan menyendiri di pojok kelas.

Dia masih memegang fotokopi KK, sedang siswa lain telah mengumpulkan kepada guru kelas masing-masing. 

Saya mencoba mendekatinya, "Barja, kenapa kamu murung, coba sini KK-nya dikumpulkan sama bu guru."

ilustrasi mengolok teman | Gambar: klikdokter.com
ilustrasi mengolok teman | Gambar: klikdokter.com

Dia menggeleng sambil menahan tangis, "Nggak usah, bu."

"Lo, memangnya, kenapa?" Tanyaku ingin tahu alasannya.

Saya mencoba mengambil lembaran fotokopi KK yang ia pegang erat di tangannya, perlahan dia lepaskan untuk saya periksa, 

"Adakah kesalahan dari KK miliknya," batinku.

Saya menghela napas panjang, setelah saya lihat ternyata KK milik Barja tidak sama dengan teman-temannya. 

Dari lima bersaudara tidak tercantum nama ayah. Yang tertera dalam KK adalah nama ibunya saja.

Pantas saja ketika saya masuk kelas anak-anak saling berbisik bahkan ada yang mengejek bahwa Barja tak punya bapak. 

"Bu, Barja gak punya bapak," ledek temannya.

Mereka saling lempar jawaban dengan nada mengolok, maka saya menyampaikan, "Anak-anak kalian tidak boleh mengejek temanmu sendiri, siapa tahu bapaknya Barja bekerja jauh di luar pulau."

"Tidak bu, sejak kecil bapaknya nggak di rumah," kembali ada anak menimpali.

"Makanya kalian harus menyayangi dan mengasihi Barja. Saat kamu masih ditemani bapakmu, justru Barja sejak kecil sudah tidak bersama bapaknya."

"Kamu masih ingatkan, bu guru pernah membelikan celana Barja karena dia tidak punya seragam putih, kamu harus bersyukur. Sangu dan pakaian yang kamu miliki adalah hasil kerja keras  orang tuamu, sedang Barja dia hidup hanya dengan ibunya, pantaskah kalian mengolok-olok?" Tanyaku memberi pengertian pada siswa lain.

Ilustrasi mengolok | Gambar : sekolahdasar.net
Ilustrasi mengolok | Gambar : sekolahdasar.net

Seketika ruangan itu hening, butiran air mata Barja menetes, walaupun tanpa suara isak tangis.

"Ayo semua minta maaf pada Barja," pintaku pada anak-anak yang lain.

Ahirnya satu-per satu mereka berjabat tangan dan mengucapkan maaf kepada Barja. 

Dari ilustrasi di atas, perlu kita tanamkan toleransi terhadap anak dengan sikap sebagai berikut:

Pertama, tanamkan sikap saling menghormati dan menghargai

Sikap anak-anak terhadap kondisi Barja adalah sikap spontan yang dilandasi sikap kurang dewasa. 

Mereka hanya melihat sisi sesaat karena tidak sama dengan teman yang lain. Sikap seperti itu perlu adanya pembinaan dan arahan. 

Jangan sampai arogansi mereka dianggap benar karena tidak adanya pembinaan dari orang yang lebih dewasa dalam hal ini guru. 

Hendaklah tidak bosan-bosan menyampaikan pentingnya saling menghormati dan menghargai di antara teman. 

Apapun latar belakang keluarganya, kaya atau miskin, pintar atau lambat belajar. Semuanya harus kita terima menjadi bagian dari keluarga kita di sekolah.

Kedua, jangan mengejek atau menghina orang yang lebih rendah

Tidak boleh mengejek atau menghina orang lain, juga perlu ditanamkan terhadap anak. Jangan sampai dari hal yang sifatnya bergurau karena ejekan menjadikan sakit hati di antara teman. Ini biasa terjadi saat mereka bermain.

Sikap merendahkan orang lain adalah pemicu pertengkaran. Pepatah Arab yang menyatakan, "Janganlah menghina kepada orang yang lebih rendah dari kamu, karena sesungguhnya setiap orang itu mempunyai kelebihan."

Kalimat bijak itu memberikan pelajaran bagi kita, jangan sampai menghina orang lain, karena setiap orang mempunyai kelebihan yang kita tidak tahu.

Seperti halnya Barja, dia memang tidak pernah tumbuh bersama bapaknya, namun di antara teman-temannya, justru Barja merupakan anak yang paling dewasa di kelas. Sikap dewasa yang dipunyai Barja itulah yang tidak dipunyai teman-teman seusianya.

Ketiga, jangan cepat jugde atau menghakimi seseorang

Kita tidak pernah tahu bagaimana latar belakang keluarga teman, apakah dia anak orang kaya atau anak seorang buruh. 

Semua adalah sama dihadapan sang pencipta, jadi jangan sampai membawa nama orang tua ketika berselisih dengan teman.

Ini yang sering terjadi, berawal dari bermain tiba-tiba terjadi pertengkaran sehingga menyebabkan perkelahian antar teman, jika sudah kita tangani dan diklarifikasi kejadiannya, kebanyakan berawal dari ejekan yang membawa nama orang tua, entah menyebut nama Bapak atau Ibunya.

Beberapa kali saya menyampaikan pada anak-anak, "Jangan sampai membawa nama orang tua ketika adu mulut, karena akan menyebabkan perkelahian."

Bagaimanapun juga sebagai orang tua yang berada di sekolah tidak bosan-bosannya untuk menyampaikan nasehat ini pada anak didik kita. 

Keempat, hendaklah melihat sisi kelebihannya bukan kekurangannya

Setiap anak mempunyai karakter yang unik, antara satu dengan yang lain tidak akan sama, mereka mempunyai tabiat yang berbeda sesuai dengan lingkungan keluarga yang membersamainya.

Sudah sepantasnya perbedaan yang dibawa dari rumah masing-masing kita adopsi menjadi khasanah kemajemukan yang bisa dipadu menjadi kebaikan.

Setiap orang mempunyai kekurangan, namun begitu tetap saja mempunyai kelebihan. Hendaklah memandang seseorang pada kelebihannya agar kita terhindar dari prasangka jelek atau mengolok-olok.

Seperti terdapat dalam Alqr'an surat Al Hujurat ayat 11 yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang mengolok-olok) lebih baik dari mereka (yang diolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan yang lain karena boleh jadi perempuan (yang diperolok) lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu saling mencela satu sama yang lain dan jangan saling memanggil dengan gelar-gelar  yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk (orang fasik) setelah beriman. Barang siapa yang tidak taubat maka mereka itulah orang-orang yang  zalim."

Bapak dan ibu, mari kita tanamkan sikap saling menghormati dan saling menghargai kepada anak-anak kita, karena di pundak merekalah budaya arif dan sikap toleransi ini akan diteruskan baik dalam beragama maupun bermasyarakat.

Salam sehat selalu, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun