"Halo, Assalamualaikum, ini Samy? Maaf aku hubungin kamu, aku ngimpiin kamu Sam, kamu nggak apa-apa kan?"
Tangisku pecah begitu mendengar suara halus yang sudah lama sekali kubuang. Suara halus yang selalu setia di saat suka maupun duka. Suara halus yang tak pernah meninggalkanku meski aku melupakannya. Bak malaikat penolong saat badai melanda. Seperti naungan saat terik matahari. Layaknya air segar saat dahaga di tengah padang pasir.
"Kok nangis? Ada apa? Cerita deh sama aku"
Kutumpahkan semua isi hatiku, segala permasalahanku, mulai dari perceraian, pertengkaran ayah dan pamanku, hingga masalah pekerjaan. Dan Sania tak pernah berubah. Dia setia mendengarnya, menguatkan hatiku, kemudian memberi solusi.
"Sudah kamu tenang aja, sabar, Allah sedang mengujimu. Berapa hutang-hutangmu? Aku siap nanggung. Kalau kamu mau, aku punya job buat kamu yang menguntungkan, nanti aku jadi mitra bisnismu. Kamu dimana sekarang? Aku mau ketemu kamu boleh?"
Kembali tangisku pecah. Kesadaranku datang terlambat. Aku baru menyadari bahwa ada orang yang sangat setia padaku setelah aku meninggalkannya. Dan dia sama sekali tak berubah. Dia tetap Sania yang dulu. Beribu terimakasih aku ucapkan meski aku tak tahu dengan apa aku harus membalas semua kebaikannya.
"Tak perlu berterimakasih, Sam. Aku selalu ada untukmu. Aku tak pernah kehilangan kamu. Aku selalu mencari kabar tentang kamu sejak kamu menikah. Doaku pun selalu kuhabiskan untukmu Sam. Aku ingin Samy selalu bahagia, walau aku tak lagi bisa menguhubungimu seperti dulu, sudah tak perlu menangis, ada aku kok"
"San, aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi, aku benar-benar butuh kamu San, aku milikmu sekarang" isakku.
"Hehehe,,kamu belum milikku Sam, selama kamu masih disitu dan aku masih disini,selama kamu belum mengikatku"
"Kamu masih sendiri?" aku terkejut.
"Tentu saja, Sam. Aku tak pernah menerima pinangan siapapun. Karena yang di hatiku cuma kamu Sam" lanjutnya, "sejak pertemuan kita pertama malam itu"