KETIKA pintu diketuk, Maryo baru saja masuk. Tasnyapun juga masih tersampir di bahu,lalu ditaruhnya di atas meja. Dengan enggan berbalik lagi menuju pintu. Gagang pintu diputar dan ditarik, pintu terbuka diiringi suara derit engsel pintu.
“ Nuwun sewu pak guru, mengganggu “ keramahan khas jawa terucap dari orang yang berdiri dimuka pintu sambil kepala dianggukan sedikit.
“ Persis intel Densus 88 aja !” sembur Maryo masih dengan nada agak kesal.
“ Intel gemana ?!”
“ Orang baru saja masuk langsung diburu, diserbu dengan ketukan pintu !”
“Taktik pak guru, biar tepat sasaran he he ...!” kilahnya
Sialan, batin Maryo kesal.
“ Ada perlu apa, seperti wigati banget ?!”
“ Apa saya nggak disuruh masuk dulu ?! “ protesnya.
Sekali lagi Maryo berbalik enggan menuju tempat duduk di ikuti tamu itu. Mereka berdua duduk tapi tidak berhadap – hadapan persis secara frontal.
“ Ada apa ?” Maryo mengulangi
“ Nuwun sewu pak guru, mau mengganggu !”
“ Tadi baru saja mengganggu, belum lagi lima menit, sekarang sudah mau mengganggu lagi ?!”
“ Yang tadi itu basa-basi, sekarang sungguhan.”
“ Apa ?!”
“ Pak guru akan saya ajak pergi.”
“ Kemana ?! “
“ Nepi, tirakat ,” ucapnya setengah berbisik.
Maryo mengerutkan keningnya, lalu berkata ;
“ Apa ndak orang lain saja ?” Maryo masih mencoba menawar, mencoba menghindar.
“ Tidak pak guru, pekerjaan ini hanya njenengan saja yang cocok, tidak bisa digantikan wong liya .” jelasnya.
Maryo menghela napas panjang dan diam sejenak.
“ Kapan ?”
“ Ya sekarang !”
“ Sekarang ?!”
“ Pilihan lurah sudah dekat. Jangan sampai kedahuluan jago lain langkahnya !”
“ Tapi begitu mendadak instruksinya, aku belum makan dan minum sama sekali dari pagi, juga belum merokok !” protes Maryo.
Tapi orang itu malah mengangguk-angguk gembira sambil menepuk – nepuk bahu Maryo dan memandangnya dengan mata berbinar – binar ;
“ Bagus, pas banget pak guru ....berarti pak guru puasa, teruskan puasanya, bagus .... berarti syaratnya sudah afdol kalau begitu seperti yang diminta oleh mbah dukun.”
“ Itu kan bagi kamu yang sedang kawogan !“ bantah Maryo spontan.
“ Ya, tapi akan lebih baik lagi kalau yang menemani juga ikut berpuasa seperti itu pak guru. Nah, apa kubilang tadi ? Hanya pak guru saja yang memang cocok untu urusan klenak-klenik begini ini. Wis ndang ayo mangkat !”
*
MENGIKUTI lajunya kendaraan sementara belum mengetahui kemana arah tujuan yang pasti, rasanya seperti diselong. Tapi karena perginya setengah terpaksa ditambah dipaksa puasa, rasanya seperti diculik teroris., batin Maryo.
“ Gendeng kamu, orang tua kok dipaksa paksa puasa begini!” omel Maryo
“ Sudah jangan gerundelan seperti itu, yang iklas saja, nanti bisa murca karomahmu !”
“ Karomah itu milik orang suci ! Orang sepert kita ya belum tingkatannya”
Jalan yang dilaluinya mulus, karena jalan raya. Tapi tidak ramai karena masih di daerah pedesaan. Motor melaju dengan kecepatan yang sedag saja kecepatannya. Tempat yang sedang dilaluinya, Maryo masih paham daerah mana, tapi hendak kemana persisnya tempat yang akan dituju, Maryo belum tahu dan ingin tahu ;
“ Tempatnya dimana ?”
“ Bukan rahasia, tapi memang jauh terpencil tersembunyi, nanti akan tahu sendiri, sudah jangan tanya lagi !”
“ Waduh, gayanya kayak Nabi Khidir saja !”
“ Nabi Kidir, nabi yang nyalawadi itu ya ?!”
“ Hm.”
“ Katanya Nabi Kidir masih hidup ya, di gisik, di pesisir ?!. Kita cari yuk , donganya pasti mustajabah sekali. Malam jum’at kita tirakat di pesisir, memburu nabi Kidir !”
“ Gila, Nabi Musa aja nggak kuwat mengikuti Nabi Khidir, apa lagi kamu, sarengatnya belum jejeg, nyebut namanya saja juga belum bener; Khidir pakai huruf kho’, dari tadi Kadar Kidir, Kadar-Kidir!”
“ Tapi kalau nanti saya bisa ketemu Nabi Ki ... eh Khidir, pasti saya akan jadi rajin ngibadahnya, kena pengaruh karomahnya !”
“ Ah kakehan kokok - kikik kamu !”
“ Ya sudah, pak guru juga jangan banyak tanya, tapi ndonga saja yang banyak, biar nanti tirakat nya berhasil!”
Berdo’a kok dipaksa-paksa. Do’a apa, do’a naik kendaraan ? Itu cukup dibaca sekali waktu mau naik tadi. Do’a apa, lha wong dirinya tidak punya hajat apa-apa kok! Suruh mulutnya dremimil dzikir ? Itu di masjid. Kalaupun sekarang ndremimil dzikir, itu ya untuk diri pribadi !
Perjalanan gendeng ini gara-gara karena dirinya dijadikan botoh, Kurang lebih sebulan yang lalu, dirinya didatangi oleh orang yang sekarang ada didepannya ini bersama dua orang temannya lagi, malam hari sehabis Isya.
“ Njanur gunung pak manten ?! sambut Maryo kala itu
“ Nggih, sowan kula mriki pancen wonten kepentingan kalih panjengan pak guru.”
“ Tapi saya juga bukan orang penting, kepentigan apa ya ?”
“ Terus terang pak guru, saya mau njago lurah lagi !”
Pak Maryo sedikit tersentak, menarik badannya sedikit kebelakang, sehingga duduknya lebih tegap. Apa yang dicari ? Njago lurah yang kedua kali biasanya susah menang! Belangnya sudah banyak diketahui oleh orang banyak. Maryo menghela napas.
“ Nuwun sewu pak manten, niki namung guyon kemawon, napa sampun dipun peggalih kanti saestu badhe maju malih ?”
“ Nggih sampun pak guru.” Ucapnya sambil senyum.
Njago lurah, walaupun tanpa melalui parpol, alias independent, tapi biayanya besar, untuk memberi wuwuran pada rakyatnya biar dapat suara. Jangan – jangan orang ini aji mampang – mumpung, batin Maryo.
“ Lalu kepentingan saya apa ?”
“ Saya mohon kesediaanya untuk jadi botoh saya pak Guru !”
Sekali lagi Maryo ambil napas panjang dan dengan pelan dihembuskannya
“ Saya pegawai negeri, jadi botoh lurah memang tidak terlarang, tapi saya sudah banyak gawean di sekolah.”
“ Jangan khawatir pak guru, pak guru hanya jadi botoh spiritual, jadi tidak perlu repot-repot blusukan membujuk warga desa. Pak Guru hanya memimpin ndonga- ndonga, atau menemani saya sowan ke kyai. Sebab pak guru masih mambu-mambu kyai ” jelasnya.
“ Lha pak manten juga sudah didampingi dua orang teman ini kok ?
“ Dua orang ini untu urusan kekanan dan kekiri. Sedangan untuk urusan yang ke atas , njenengan yang cocok, sebab njengan punjul ing apapak !”
Gendheng tenan ini orang batin Maryo. Kok mambu-mambu kyai segala ? Lha wong pondok ora duwe, mangku langgar atau masjid ya ora. Santri jelas ora gableg. Nyantri utawa mondok uga ora, cuma ngaji biasa. Di sekolah juga jadi guru biologi. Lha kok mambu-mambu kyai, kyai mambu kali ?!
Sudah disowani begitu _ malah disanjung mambu kyai segala _ mau menolak terus terang bahwa dirinya tidak mau, jelas tidak mungkin. Bisa berakibat jadi satru bebuyutan nanti. Ini desa bukan kota. Tapi mau mengatakan ya secara terus terang juga berat. Apa lagi botoh spiritual, beban moralnya berat kalau kalah. Secara sosiologi dan politik pedesaan, menyatakn diri sebagai botoh dari salah satu jago, berarti menempatkan diri sebagai musuh dari jago dan botoh-botoh jago lain ! Dan itu akan berdampak panjang walau pemilihan kepala desa sudah lama berlalu. Ini desa, bukan kota ! Begitu pikir Maryo.
Jalan terasa grenjal – grenjul, tak mulus lagi, sebab sudah memasuki kampung pedalaman dikaki bukit, Maryo pun merasa perjalanan gendeng ini sudah mendekati tempat tujuan.
*
SENJA sudah menjadi gelap, ketika sudah sampai ditempat tujuan. Sebuah dusun kecil terpencil dan berbukit-bukit. Ada rumah kecil sederhana tak bertetangga. Dalam perjalanan mendekati tempat tujuan ini, Maryo juga sempat melihat beberapa rumah, tapi saling berjauhan. Dan bagi temannya Maryo itu,kedatangannya kali ini adalah untuk yang kedua kalinya, saatnya untuk tirakat.
Sebagai botoh, Maryo hanya nderek mawon pada teman jagonya itu. Ketika masuk kedalam rumah, Maryo ikut saja dan duduk manis seperti patung. Cuma jadi penonton. Tapi hatinya tetap waras dan bisa jaga jarak dari suasana sakral mistis, karena tidak punya kepentingan apapun.
“ Mbah, saya datang kesini mau tirakat, karena mau njago lurah lagi.Mohon doa restunya mbah, supaya berhasil. Semua uba rampe tirakat masa borong saya pasrahkan sama mbah !” ucapnya sambil menyorongkan amplop tebal.
Maryo hanya melirik, dalam hati menebak, berapa juta harga tempat keramat ini ?
“ Nggih kisanak, kula tampi. Kabeh uba rampe tirakat sampun pepak cemawis. Mangga kula derekaken minggah wonten nginggil !” jawab juru kunci makam.
Mereka bertiga menyusuri jalan setapak naik keatas bukit, walau tidak tinggi – tinggi sekali, tapi jalannya naik turun. Juru kunci jalan didepan membawa obor. Maryo berjalan paling belakang. Dalam perjalanan itu, tak ada sepatah kata pun yang terucap atau terdengar. Benar – benar terkesan wingit.
Sampai didepan cungkup makam, mereka berhenti. Sang juru kunci makam duduk bersila bersemedi. Diikuti oleh mereka berdua. Maryo ikut saja, tapi benar – benar tanpa penjiwaan dalam memainkan perannya itu. Setelah selesai sang juru kunci membalikan badan menghadap mereka berdua seraya berkata ;
“ Ki sanak, saya sudah menyerahkan kisanak pada Mbah Singadirja. Silakan masuk dan tunggu sampai datang wisik !”
Sang juru kunci pergi. Kedua orang itu lalu perlahan masuk. Sesampai didalam makam, Maryo terkejut, ternyata sudah ada beberapa orang yang duduk mengitari makam di situ. Ada berapa orang Maryo tidak tahu persis, karena agak remang serta tak mungkin disamping juga tak perlu menghitung atau mengabsensi mereka satu persatu. Untuk apa ? . Makam diterangi dengan lampu yang tidak besar watt-nya, yang sepertinya dinyalakan dari bawah sana dan menyala hanya pada waktu-waktu tertentu saja, tebak Maryo.
Nunggu wisik ! Kapan datang ?! Bagi Maryo, ini tentu situasi dan kondisi yang menjengkelkan sekali. Rasa lapar karena dipaksa puasa dan belum berbuka serta kecanduan nikotin yang belum terlampiaskan, benar-benar menyiksa. Tepekur, manekung, semedi, ndonga, dzikir atau nang ning neng, sama sekali tidak ada dalam benak Maryo, tak ada ... !
Ketika malam sudah mulai larut, Maryo melihat jago-jago yang tirakat itu sudah mulai diserang kantuk. Bahkan sudah ada yang lelap mendengkur. Bagaimana mereka akan tahu wisik datang, jika pada ngantuk seperti itu, sindir Maryo dalam hati. Bisa-bisa wisik itu pergi lagi, ngapain datang pada orang yang tidur ?
Jauh larut malam sudah, dini hari waktunya, Maryo satu-satunya yang tetap melek dan telinganya juga masih bisa menangkap sinyal, mendengar suara dehem- dehem seperti orang yang akan bicara yang datang dari dalam makam. Ajaibkah, entahlah tapi Maryo belum sampai pada kesimpulan itu. Masih ditanggapinya dengan datar biasa saja. Barangkali karena memang dirinya tidak dalam kondisi kejiwaan sedang menunggu wisik ! Berbeda dengan para jago yang mulai terjaga dan mulai mengumpulkan kesadaran dirinya. Tergambar raut wajah heran bercampur senang mendengar tanda-tanda wisik datang.
“ Kisanak sedulur-sedulurku kabeh, sira sing pada temen lan tumemen. Gusti Kang Murbeng jagad bakal nyembadani panyuwunmu kabeh ... krrrsssk ....!”
Krrrsssk ... ?! Justru ini yang aneh bin ajaib ditelinga Maryo, wisik kok ada bunyi krrrsssk, pikir Maryo ?! Telinga Maryo sempat menangkap bunyi aneh itu. Krrrsssk ... itu jelas bukan suara wisik ! Akal sehat Maryo tetap dalam kondisi waras, karena tidak punya kepentingan apa – apa di tempat keramat ini ! Ilmu pengetahuan formal yang diperoleh di kampus juga dengan keras menafikannya, itu bukan suara wisik, melainkan suara mekanik, yaitu suara mike yang dimatikan. Hati dan pikiran Maryo haqul yakin dengan hal aneh itu.
Walaupun didera rasa lapar dan kecanduan nikotin yang belum terlampiaskan sejak tadi siang, tapi akal sehatnya masih tetap berjalan normal, ditambah didikan militer saat ikut Menwa; stimulus – rangsang yang sudah mendarah daging, meluapkan emosi Maryo untuk berontak ;
“ Makam akan saya bongkar !”
Para jago yang tirakat disitu mendadak sontak tersentak kaget alang bukan kepalang !
“ Akan saya bongkar !”
“ Sabar mas !”
“ Kuwalat pak, makam keramat !”
“ Wisik yang ditunggu sudah datang, dibongkar gemana ?!”
“ Ini bukan makam keramat, tapi makam keparat !” bentak Maryo.
“ Aduh pak sareh, ini makam keramat, bisa-bisa kita kewalat semua !”
Terjadi kegaduhan yang luar biasa untuk ukuran sebuah tempat yang dikeramatkan seperti itu, yang mestinya sunyi sepi sonya ruri.
Rasa marah karena terhina akal sehatnya, rasa lapar dan kecanduan nikotin yang sudah membakar syarafnya, stimulus rangsang didikan militer dikampus yang sudah memancing emosinya, semua itu berkumpul menjadi kekuatan yang besar untuk membongkar makam. Tak ada yang bisa dan berani mencegah Maryo yang mengamuk kaya Bratasena. Kijing terguling kekiri. Ternyata untuk membongkar makam, tak perlu harus jadi wahabi dulu.
Dengan mata tajam, walau suasana dalam makam tak begituterang, tapi Maryo tak kesulitan menemukan benda yang dicurigainya itu. Diambilnya benda kecil yang ada di bawah kijing yang telah terguling yang tersambung dengan kabel kabel. Ditunjukkan pada para jago yang seperti mendadak bertampang bloon ;
“ Suara yang kamu dengar tadi itu bukan wisik, tapi suara dari mike, !” khotbah Maryo diatas bukit(*)
