Riset studi Ijaduola (2012) menyebutkan terdapat hubungan kausal antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas rezim, dan timbal balik yang terjadi antara politik dan pendidikan mensyaratkan bahwa orang-orang berkepentingan mengerahkan upaya didalam sistem pemerintahan untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya di masyarakat sesuai dengan perspektif yang mereka anggap menguntungkan rakyat.
Dalam memahami dinamika Kurikulum, Pierre Bourdieu, seorang sosiolog sekaligus filsuf asal Perancis, menyatakan bahwa sekolah hanyalah ruang terciptanya reproduksi sosial dan ekonomi.Â
Tesisnya menyebutkan bahwa dinamika yang terdapat di sekolah diproduksi oleh kurikulum yang membangunnya. Kurikulum tersendiri dapat dilogikakan sebagai hilir dari dinamika sosial kemasyarakatan dan amat penting bagi pihak berkepentingan untuk mempraktikkan dan mendominasi masyarakat.Â
Secara spesifik paham ekonomi, politik, dan nilai-nilai budaya di masyarakat. Kurikulum, dari situ dapat diinterpretasi sebagai arena pertarungan kekuasaan melalui agen-agen yang bertindak didalamnya.
 Bourdieu mengenalkan situasi ini dengan konsep field, yang mengacu bahwa produk pendidikan adalah ranah daripada kekuasaan itu sendiri. Dapat diambil benang merah bahwa kurikulum merupakan tempat dimana pelaku sosial yang memiliki kepentingan dan tentu saja kekuasaan di ranah pemerintahan bertarung menggunakan kapital yang dipunya untuk meraih dominasi politik di pendidikan guna mereproduksi paham sosial dan budaya-budaya yang dianggap "menguntungkan rakyat" dari perspektif yang subyektif.Â
Dapat dipastikan ketika pemerintah, sebagaimana institusi yang mengoperasionalkan kekuasaannya, tengah mengatur pendidikan melalui kebijakan kurikulum, tidak bisa dilepaskan sedang berkontestasi pula dengan aktor lain, layaknya oposisi. Ketika pihak oposisi mengambil kekuasaan dari pemerintah terdahulu, maka tanpa terkecuali akan terjadi restrukturisasi terhadap produk kurikulum sebelumnya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari berjalannya dinamika kurikulum sejak pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi saat ini, adalah sebagai berikut; Politik secara murni tidak bisa dipisahkan dari kepentingan Pendidikan; Aspek Sosial mengatur produk Pendidikan (Kurikulum) dari tiap zamannya namun memiliki kecenderungan untuk dimiliki pihak berkuasa; Kegagalan yang dialami oleh produk kurikulum murni terjadi karena kurikulum merupakan kontestasi antara banyak pihak untuk menciptakan reproduksi sosial dan ekonomi suatu masyarakat.
Kajian mendalam terkait permasalahan dan dinamika sosial-politik dari pergantian kurikulum pun menjawab seberapa kompleks masalah yang dihadapi oleh Indonesia sendiri.Â
Bergantung pada administrasi setiap periode pemerintahan, produk kurikulum yang dikawal oleh setiap menteri pun terus berganti. Contohnya ialah setiap menteri membawa kepentingan yang terlihat seperti misi mencerdaskan bangsa, meneruskan intelektualisme negara, dan membangun pribadi yang teladan dari peserta didik dari situ terdapat pula kepentingan kasat mata seperti transaksi politik, visi perubahan norma dan nilai sosial yang berkepanjangan, dominasi dan perubahan ataupun penyempurnaan hegemoni politik dan nilai budaya yang dianut.Â
Dapat dipastikan bahwa perubahan kurikulum pun akan terus menjadi perdebatan di dalam intrik politik domestik, namun hal tersebut, meskipun terelakan dari realita, haruslah dibenahi sedikit demi sedikit.Â
Proses yang dilakukan amatlah sulit melihat hegemoni praktis yang secara teknis sudah melekat ke politik praktis negara Indonesia, namun untuk pengembangan pendidikan yang lebih baik untuk generasi kedepan, diperlukan standardisasi dan pembenahan patokan kurikulum yang ditetapkan melalui produk hukum dalam bentuk Undang-Undang maupun Perpres atau PP untuk kedepannya agar pemerintah memusatkan perhatian dengan menyesuaikan kebutuhan perkembangan masyarakat dan pola pikir yang kontekstual menurut zaman atas isu-isu sosial kemasyarakatan yang akan lebih berdampak ke masyarakat.