Kelebihan yang mampu terlihat adalah penyempurnaan persepsi secara sistemik untuk membenarkan peserta didik di sekolah sebagai subyek yang memiliki persepsi tersendiri, latar belakang ilmu dan pengalaman tersendiri.
Namun terjadi ketidakselarasan penempatan CBSA yang tidak dijadikan kepentingan terpenting untuk Konten Kurikulum itu sendiri, namun hanya ditampilkan sebagai ketrampilan dalam proses yang harus mengacu kembali pada teori. Pada akhirnya meskipun model tersebut mengakomodasi setiap murid secara efektif dan sesuai kaidah, namun secara praktis di berbagai situasi salah sasaran terjadi dari CBSA dan sistem penjurusan yang kian rumit.
 Pengaplikasian perspektif baru pembelajaran pun gagal diselaraskan dan kalah dari Mindset sejak Kurikulum 1952 bahwa guru menjadi Subyek terpenting dan kegagalan implementasi yang efektif.
Kurikulum 1994 yang disimpulkan secara ringkas merupakan hasil upaya memadukan kurikulum 1975 dan 1984 yang mendapatkan banyak kritik atas implementasinya.Â
Adapun pemberian atensi kembali di kurikulum ini untuk menjawab permasalahan modal sosial masyarakat agar bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan sosial di Indonesia yang berkelanjutan.Â
Penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya pun sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terdapat kelebihan tertentu dari Kurikulum 1994 yang lebih bermaksud sebagai penyempurna dari dua produk pendidikan sebelumnya, namun pada kenyataannya tidak ada perubahan secara prinsipiil antara kurikulum 1994 dan 1984. meskipun menyesuaikan dengan kebutuhan nasional secara menyeluruh.Â
Namun, salah satu perubahan signifikan yang dapat terlihat adalah penghapusan mapel Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dalam kurikulum. Konten yang mulai dikerucutkan untuk penyempurnaan ilmu daripada pelaksanaan praktis atas dasar sosial mulai berimbas secara nyata dengan lebih banyak fokus diperhatikan untuk pelajaran IPA dan Matematika, sementara mata pelajaran IPS dikesampingan sebagai mata pelajaran formal dan terpisah dari masyarakat tersendiri.Â
Hal ini kerap menjadi masalah yang relevan untuk kondisi saat ini, dimana mata pelajaran Sejarah diwacanakan untuk direduksi dan bukan lagi mata pelajaran inti.Â
Hal tersebut dapat menyimpulkan efek jangka panjang dan cenderung negatif dari pelaksanaan kurikulum Orde Baru (1968, 1975, 1984, 1994) tidak menyiapkan generasi kedepannya yang peka terhadap masalah sosial politik dan cenderung dipersiapkan untuk bekerja dan mengabdi pada negara. Ciri tersebut cenderung bersifat subversif dan tidak asing dari tujuan kurikulum pemerintah Hindia Belanda.Â
Tujuan dari perubahan dan pengembangan Kurikulum Indonesia pasca pemerintah Orde Baru pun bukan dilihat sebagai proses pembenaran sesuai kebutuhan daerah dan masyarakat, namun untuk kepentingan pemerintah pusat dalam skala nasional.
Penggantian kurikulum pun direduksi menjadi tradisi politik eksekutif Indonesia. Seakan-akan melihat perkembangan secara kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, keagamaan dan seni, semua harus sesuai dengan kebutuhan Top-Down yang selaras dengan seremoni politik pemerintah setiap 10 tahun sekali.Â