Kurikulum ini belum bisa diidentifikasi terhadap peka dengan kebutuhan sosial dari masyarakat atas dasar perkembangan zaman, menciptakan situasi urutan pembelajaran yang multi-tafsir, bersifat kacau balau dan beraneka ragam. Hal tersebut berujung ke murid harus mengikuti interpretasi dari guru masing-masing dan pada akhirnya terjebak dalam persepsi guru sebagai subyek dan murid sebagai objek.Â
Menciptakan ketidakselarasan atas perkembangan pribadi masyarakat global yang madani, perseptif, dan aktif berkomunikasi. Dibandingkan dengan perkembangan pribadi masyarakat Indonesia yang notabene, terjebak pada persepsi bahwa otoritas sosial terletak pada satu tokoh tertentu, menciptakan situasi pembiasaan terhadap penokohan dan jalan berpikir Appealing to Authority (Menyerahkan diri ke Otoritas/Pemerintah). Kebutuhan dari perbaikan kekurangan Kurikulum KTSP sekejap terpenuhi dari dicoba dibenahinya melalui Kurikulum 2013 yang harapannya mampu melengkapi kekurangan tersebut dengan menekankan penguatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara bersamaan untuk kebutuhan peserta didik.
Kurikulum Tahun 2013 merupakan pembenahan menyeluruh dari KTSP 2006 dengan menitik beratkan penyempurnaan untuk bidang; pola pikir; penguatan tata kelola kurikulum; pedalaman dan penguasaan materi; penguatan proses pembelajaran; dan penyesuaian beban belajar untuk menjamin kesamaan antara apa yang menjadi tujuan dan visi dari proses pembelajaran.Â
Hal tersebut menurut Imam Machali dan Ara Hidayat, Â dapat diinterpretasi sebagai langkah yang mementingkan konteks dan mempertimbangkan dinamika dari globalisasi dan permasalahan sosial yang kunjung menjadi semakin kompleks sesuai perkembangan zaman.Â
Dalam Kurtilas (Kurikulum 2013) tersendiri, bentuk implementasi dalam pengembangan kepribadian siswa dan pembenahan sikap ialah melalui program KI-1 (Sikap Spiritual), KI-2 (Sikap Sosial), KI-3 (Pengetahuan), dan KI-4 (Keterampilan).Â
Menciptakan aspek-aspek untuk mengontrol laju perkembangan zaman agar masyarakat Indonesia, untuk saat ini dan masa depan, mampu berkompetisi dan bertahan hidup di lingkungan global yang sudah terkoneksi satu dengan yang lain. Mengembangkan kurikulum yang kemudian menjawab berbagai aspek dengan menyeluruh, yang diwakili oleh Kurtilas, maka menjadi langkah yang mendukung penyelesaian berbagai kebutuhan di masyarakat, begitu juga masalah sosial yang tercipta darinya.Â
Namun beberapa hal harus diperhatikan terkait implementasi Kurtilas itu sendiri, dimana dikarenakan kurun waktunya yang cukup cepat, dan tidak selarasnya waktu implementasi maupun sosialisasi secara besar-besaran atas Kurikulum baru yang bersifat mereformasi struktur kependidikan sebelumnya, bisa diantisipasi bahwa prosesnya akan relatif kacau dan salah sasaran.Â
Hal tersebut pun sesuai dengan kenyataan di lapangan, yang pada akhirnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat iut, Anies Baswedan, memutuskan untuk tidak mengimplementasi dan menggunakan Kurikulum 2013 sebagai landasan untuk pendidikan di Indonesia, dan kembali menggunakan KTSP 2006 untuk kedepannya.
Kurikulum Indonesia sudah berevolusi sedemikian rupa dari bentuk ke bentuk, konsep ke konsep, hingga konten ke konten yang dibahas, dan salah satu aspek penting yang menjadi penyebab pergantian tersebut adalah dari dinamika sosial-politiknya, menyimpulkan suatu hal bahwa Kurikulum merupakan produk konstruksi sosial. Salah satu pepatah yang terkenal dari dinamika sosial-politik pendidikan adalah istilah "ganti menteri, ganti kurikulum" yang menggambarkan bahwa dibalik pergantian kurikulum selalu terjadi kontestasi kekuasaan (Tilaar, 2003:55).Â
Kontestasi yang dimaksud adalah bentuk pertarungan berbagai pihak berkepentingan atas produk pendidikan Indonesia dari berbagai agen yang bertindak di dalam pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Maryanto, dkk. (2017), bahwa politik mempengaruhi revitalisasi kurikulum.Â
Poin yang dapat digarisbawahi adalah riset dari Nir dan Kafle (2011) bahwa stabilitas politik mempengaruhi pendidikan sebagai faktor utama, dan merupakan salah satu alasan untuk suatu pemerintahan mendukung produk kurikulum yang digodok sendiri dibanding pemerintahan sebelumnya (yang mungkin diusung oleh partai atau pihak lain).