Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lelaki yang Dipilihkan Tuhan

15 Oktober 2016   12:48 Diperbarui: 15 Oktober 2016   14:48 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Picturequotes.com

Ini cerita tentang yang terkasih, suamiku..

JIKA ada satu hal yang membuat aku sangat berterimakasih pada suamiku, hal itu adalah karena dia memudahkan aku untuk bicara pada anak perempuan kami, "Nduk, kelak, pilihlah laki- laki yang baik untuk menjadi suamimu. Dan jika kau ingin tahu seperti apa lelaki baik itu, lihatlah Bapakmu"

Benar. Kalimat seperti itu, pernah kukatakan pada putriku.

Oh, mungkin bukan sekedar ‘pernah’ tapi berulang kali.

Aku sungguh bersyukur tentang hal itu. Karena hal itu menyederhanakan hidupku. Juga Hidup putriku. Sebab bayangkan betapa akan kompleksnya jika situasinya tidak seperti itu. Jika dia bukan lelaki baik, betapa akan rumitnya bagaimana menunjukkan seperti apa contoh lelaki baik pada putriku.

Berulang kali, selama pernikahan kami, aku mendengar komentar dari banyak orang, baik teman- teman lamanya, maupun teman- temanku, keluargaku, tentang suamiku yang menurut mereka “ Baik dan sabar sekali. “ Kalimat yang biasanya kusambut dengan tawa lebar dan jawaban, “ Iya, artinya Tuhan sayang sekali sama aku, ya, dikasih suami baik seperti ini.. “

Dan jawaban seperti itu, walau selalu kuucapkan dengan tawa lebar, tapi sebetulnya memang kumaksudkan begitu. Tuhan baik sekali padaku. Dia Yang Maha Cinta membuka jalan, dengan cara yang sungguh tak terduga…

***

Begini. Mari kuceritakan sedikit apa yang terjadi dulu, saat aku masih gadis, di usia dua puluhan. Ketika aku, seperti semua gadis lain seumur itu, sedang berusaha mencari Mr. Right. Sebuah kata sederhana yang ternyata tak sesederhana itu.

Sebab kadangkala, kita sendiri bahkan tak bisa merumuskan begitu saja apa yang kita inginkan.

“ Yang pintar, “ begitu selalu jawabanku dulu ketika ibuku menanyakan seperti apa suami yang kucari.

Jawaban yang oleh ibuku selalu dijawab dengan, “ Nah tapi teman- temanmu itu pintar- pintar semua, kan? Jadi tinggal pilih salah satu saja dari mereka saja, dong..  “

Hmmm.

Ibuku benar. Para teman lelaki yang sehari- hari bergaul denganku itu memang pintar- pintar. Jadi aku sendiri bingung, bagaimana menjawab komentar ibuku itu. Ha ha.

Sebab ternyata seperti apa keinginanku itu memang tak semudah itu digambarkan dalam kata- kata.

Aku sendiri baru menyadari kelak, di kemudian hari bahwa “yang pintar” seperti yang sering kuucapkan itu itu ternyata bukan semata bermakna dua kata sederhana. Sebab, yang kucari ternyata adalah orang yang (sangat) pintar, tapi rendah hati. Yang kucari adalah orang dengan wawasan sangat luas, berpandangan maju, tapi sederhana. Dan lelaki dengan karakteristik seperti itu tak bisa ditemukan di setiap pojok jalan.

Jadi, bagaimana caranya akhirnya kutemukan dia?

Ini pertanyaan yang jawabannya cuma satu: Tuhan yang mempertemukan kami, dengan cara yang tak disangka- sangka.

***

Kerumitan menemukan Mr. Right pada suatu hari membawaku pada kesimpulan ini: jika itu ternyata begitu rumitnya menurut pendapatku, maka mari serahkan saja urusan itu pada Dia Yang Maha Tahu.

Jika aku tak tahu, jika pandanganku terbatas, maka aku yakin Dia bisa menunjukkan padaku, dan bisa mengatur semua itu untukku. Maka, ada suatu titik dimana aku memulai hal itu. Merajinkan puasa Senin Kamis dan Shalat Hajat secara teratur.

Itu bukan pertama kali kulakukan, puasa dan shalat hajat semacam itu. Aku memang biasa melakukannya jika menghadapi hal- hal penting, besar atau berat. Saat menghadapi ujian sekolah, saat sudah lulus dan mencari pekerjaan, itulah yang kulakukan.

Maka, kulakukan lagi hal tersebut untuk memohon satu hal pada Sang Pemilik Hidup: Mohon pertemukan aku dengan lelaki baik untuk menjadi suamiku. Lelaki yang akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dan, oh.. dasar aku. Permintaan itu masih juga diimbuhi dengan: ketemunya nanti saja ya Allah, dekat- dekat dengan saat dimana kami akan menikah.

Error, ya? Ha ha. Permintaan macam apa, itu.

Tapi aku punya alasan. Aku tak berniat atau berminat jatuh cinta pada seseorang lalu menanti terlalu lama untuk bisa menikah dengannya. Menanti kejelasan terlalu lama akan terlalu memusingkan bagiku. Daripada pusing begitu, aku lebih suka  tak terikat pada siapapun, dan menjalani hidup ‘merdeka’ saja, sehingga aku bisa mengatur hidupku sendiri, bersenang- senang tanpa beban. He he.

***


Puasa Senin- Kamis dan shalat Hajat untuk memohon agar suatu hari dipertemukan dengan seorang lelaki yang akan membawa kebaikan dunia akhirat untuk menjadi suamiku terus kujalani. Tak pernah putus selama lebih dari tiga tahun.

Dan selama itu, kujalani hidup dengan cara yang biasa. Bekerja, bergaul, bersenang- senang menjalankan hobbyku.

Aku sudah lulus kuliah saat itu. Sudah bekerja, dengan performa kerja yang cukup bisa kubanggakan. Ada beberapa award kuterima sehubungan dengan hasil kerjaku. Lalu suatu hari, kupikir, sudah waktunya aku kuliah lagi. Maka, kucoba mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana ke luar negeri.

Ihhh.. apa hubungannya ya, cerita tentang bagaimana bertemu dengan Mr. Right dengan urusan pekerjaan dan beasiswa?

Sebentar.. sabar dulu.

Ini yang mau kuceritakan.

Di saat itu, informasi tentang beasiswa dan kuliah di luar negeri tak bisa diakses semudah sekarang. Informasi itu ada tapi it’s not just one click away. Belum ada google yang bisa membantu.

Maka kuhubungi seorang kawan yang sedang kuliah pasca sarjana di luar negeri, meminta informasi. Kawan ini, memperkenalkanku pada seorang kawannya lagi, teman kuliahnya.

Dan begitulah, aku mengobrol dengan teman kuliah kawanku itu. Meminta informasi tentang beasiswa dan kuliah di luar negeri. Percakapan kami ternyata nyambung. Dimulai dari pembicaraan tentang beasiswa dan kuliah, pembicaraan itu lalu melebar kesana- kemari dan  tak dinyana tak diduga, lalu ternyata berujung pada percakapan tentang.. pernikahan.

Iya, benar.

Tanpa diduga, kami lalu saling jatuh cinta.  

Pada sosok teman kuliah kawanku inilah kutemukan ‘paket’ yang kucari. Seorang lelaki cerdas, berwawasan luas, rendah hati dan sederhana.

Entah apa yang dilihatnya pada diriku yang ya begitulah, kadang beres kadang tidak itu, ha ha.. tapi lelaki itu kemudian meminangku menjadi istrinya. Dengan cara yang sederhana, tanpa terlalu banyak kata, tanpa banyak janji yang muluk melambung, tapi menunjukkan dengan nyata selama tahun- tahun pernikahan kami bahwa dia memang lelaki baik. Suami yang baik. Ayah yang baik.

Yang memudahkanku bicara pada putri kami, “ Jika ingin melihat contoh lelaki baik, lihatlah Bapakmu. “

***

Aku percaya bahwa doa- doa yang kulantunkan selama puasa Senin Kamis dan Shalat Hajat tanpa putus selama tiga tahun lebih itu naik menembus langit, membuat Dia yang Maha Pengasih membukakan jalan bagiku untuk bertemu lelaki (calon) suamiku itu.

Dan oh, Sang Maha Cinta bahkan begitu baiknya mengabulkan permintaanku untuk mengatur waktunya, mempertemukan aku pada lelaki (calon) suamiku tak lama menjelang dia menyelesaikan kuliah pasca sarjananya. Maka, situasi menjadi sederhana. Sebab dia bisa memberikan janji, “ Segera setelah aku lulus, akan kutemui Bapak dan Ibu untuk memintamu menjadi istriku. “

“ Segera setelah lulus” yang dikatakannya itu, hanya berhitung bulan dari perkenalan kami.

Aku meng-iya tanpa ragu atas pinangan itu. Tak ada keraguan, aku percaya, dialah jawaban yang diberikan Tuhan atas doa- doaku. 

Kami menikah beberapa bulan setelah itu...

p.s. Ini surat cintaku ke 10.000.001 untuk suamiku terkasih. Ditulis sehari setelah hari ulang tahun pernikahan kami. I love you, mas. Terimakasih untuk membuatku begitu bahagia sepanjang pernikahan kita…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun