" Iya. Kakap yang udah diambil dagingnya buat fillet kakap itu, lho.. kan ada sirip dan sisa- sisa dagingnya sedikit. Ya itu yang dibeli, terus digoreng. Enak, lho.. "
Aku agak tercengang. Oh..
Kuperhatikan suamiku. Dia menceritakan hal tersebut sambil tertawa- tawa. Berarti, dia sendiri tak merasa bahwa itu kondisi yang ‘susah’ sepertinya. Tapi walau begitu, kisah yang diceritakan sambil tertawa- tawa tersebut membuat air mataku menggenang juga malam itu. Sebab aku, tak bisa tidak, jadi berpikir, si sulung cah ayu itu tidak lama lagi akan sekolah di luar negeri dengan beasiswa. Uang sakunya juga terbatas.
Malam itu dia bisa makan daging kakap, nanti saat dia kuliah di luar negeri, mesti masak sirip kakap jugakah?
***
Pada putri sulung kami, aku dan ayahnya mewanti- wanti agar dia berhemat.
Aku sendiri mengatakan padanya, uang beasiswa yang dia terima itu harus dicukup- cukupkan. Mesti diatur penggunaannya.
“ Ibu dan Bapak nggak akan kirim uang, ya, ” kataku pada si sulung. “ Atur- atur saja jatah beasiswamu itu supaya cukup. “
Kami memang membiasakan anak- anak untuk hemat. Tidak jor- joran. Dalam rangka mendidik, sejak kecil, uang saku mereka juga kami batasi.
Tapi ya itu, he he.. seperti banyak orang tua lain, mendidik itu kadang kala harus menekan perasaan kita sendiri. Saat mulut bicara “ Atur ya uang beasiswanya, pokoknya mesti dicukup- cukupkan”, sebetulnya dalam hati aku bolak- balik menghitung, akan cukupkah uang saku dari beasiswa itu. Termasuk diantaranya memikirkan akankah dia bisa makan dengan layak disana.
Ha ha.