Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Hubungan Erat Antara Makanan dan Cinta

23 September 2016   00:09 Diperbarui: 23 September 2016   02:25 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: trustedreviews.com

Kususut air mataku diam- diam…

LONG week end saat itu. Aku, suami dan kedua anakku, anak tengah dan bungsu, pergi berjalan- jalan ke sebuah toko furniture yang terkenal. Lalu di waktu makan siang, turut mengantri bersama banyak orang lain di restaurant di dalam toko tersebut.

Sebab antrian panjang, mataku sempat melirik- lirik ke bagian dimana ada roti, kue, dan beberapa macam dessert lain disajikan. Dan aku lalu nyeletuk mengatakan begini pada anak- anakku. “ Duh, koq ibu jadi teringat pada mbakyu-mu ya.. “

Anak sulungku penggemar kue. Dan beberapa jenis kue yang terpajang di depan kami sungguh mengingatkanku padanya. Putri sulung kami mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri mulai semester ini. Dia ada di benua lain. Itu sebabnya dia tak berada bersama kami saat itu.

Antrian bergeser. Kami mulai melihat- lihat daftar menu yang terpampang di depan kami, yang mayoritas berupa makanan Eropa. Sementara itu, percakapan masih berlanjut. Anak- anakku bercerita tentang percakapan mereka dengan kakaknya, beberapa hari sebelum kakaknya itu berangkat.

Katanya, mereka membicarakan tentang steak.

Urusan steak ini memang urusan diskusi yang tak berkesudahan di keluarga kami.

Pasalnya, aku dan si sulung fanatik pada jenis kematangan well done untuk steak. Sementara suami dan kedua anak lelakiku, menyukai steak dengan kematangan medium. Mereka berpendapat bahwa justru kematangan medium itu yang mengeluarkan rasa paling enak dari daging saat dimasak dalam bentuk steak, padahal bagiku dan putri sulung kami, melihat daging yang tengahnya masih merah itu koq agak ‘mengerikan’, he he.

Nah, rupanya, beberapa hari sebelum kakaknya berangkat untuk kuliah di luar negeri itu, adik- adiknya menggoda sang kakak, bahwa kelak saat dia sudah berada di luar negeri, mau tidak mau dia akan harus menghadapi steak dengan kematangan medium. Menurut adik- adiknya ( entah berdasarkan informasi darimana, ha ha ) begitulah mayoritas orang di negara tempat kakaknya bersekolah akan memasak steak. Dengan kematangan medium, bukan well done.

“ Trus, mbakyu-mu jawab apa? “ tanyaku ingin tahu.

Anak tengahku menjawab, “ Oh, mbak bilang, nanti disana boro- boro bisa makan steak. Uang beasiswanya aja cuma segitu, mana kebeli steak segala. “

Haaaa…

Itu jawaban yang diluar dugaanku. Tadinya sungguh kupikir kakak beradik ini akan terus saling meledek dan memperdebatkan urusan medium dan well done itu. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa jawabannya akan seperti itu.

Dan… sukseslah jawaban itu membuat air mataku mengalir tak terbendung.

Ya ampun.

Bayangkan saja, percakapan itu terjadi ketika sedang berada di antara banyak orang yang sedang mengantri di restaurant. Tentu saja aku tak ingin menarik perhatian mereka dengan air mataku. Maka, sibuklah aku menyusut air mata yang mengalir itu itu diam- diam.

***

Pembicaraan tentang makanan yang berujung pada jatuhnya air mata bukan hanya saat itu saja terjadi.

Sekitar dua bulan sebelum putri sulung kami berangkat, kami sekeluarga sedang pergi berjalan- jalan ke luar kota dan menghabiskan malam dengan makan sea food, salah satunya ikan kakap bakar, sambil lesehan.

Sambil makan itu, suamiku bercerita pada anak- anak tentang pengalamannya saat kuliah S2 dulu. Ayah anak- anak ini sekolah S2 di luar negeri dengan beasiswa. Jadi uang sakunya terbatas.

" Bapak dulu masak sendiri, " katanya pada anak-anak. " Nah, Bapak kan ngga terlalu suka daging, jadi seringnya makan ikan. Tapi, ikan itu harganya mahal. Jadi akhirnya Bapak suka beli sirip kakap.. "

Sirip kakap?

" Iya. Kakap yang udah diambil dagingnya buat fillet kakap itu, lho.. kan ada sirip dan sisa- sisa dagingnya sedikit. Ya itu yang dibeli, terus digoreng. Enak, lho.. "

Aku agak tercengang. Oh..

Kuperhatikan suamiku. Dia menceritakan hal tersebut sambil tertawa- tawa. Berarti, dia sendiri tak merasa bahwa itu kondisi yang ‘susah’ sepertinya. Tapi walau begitu, kisah yang diceritakan sambil tertawa- tawa tersebut membuat air mataku menggenang juga malam itu. Sebab aku, tak bisa tidak, jadi berpikir, si sulung cah ayu itu tidak lama lagi akan sekolah di luar negeri dengan beasiswa. Uang sakunya juga terbatas.

Malam itu dia bisa makan daging kakap, nanti saat dia kuliah di luar negeri, mesti masak sirip kakap jugakah? 

***

Pada putri sulung kami, aku dan ayahnya mewanti- wanti agar dia berhemat.

Aku sendiri mengatakan padanya,  uang beasiswa yang dia terima itu harus dicukup- cukupkan. Mesti diatur penggunaannya.

“ Ibu dan Bapak nggak akan kirim uang, ya, ” kataku pada si sulung. “ Atur- atur saja jatah beasiswamu itu supaya cukup. “

Kami memang membiasakan anak- anak untuk hemat. Tidak jor- joran. Dalam rangka mendidik, sejak kecil, uang saku mereka juga kami batasi.

Tapi ya itu, he he.. seperti banyak orang tua lain, mendidik itu kadang kala harus menekan perasaan kita sendiri. Saat mulut bicara “ Atur ya uang beasiswanya, pokoknya mesti dicukup- cukupkan”, sebetulnya dalam hati aku bolak- balik menghitung, akan cukupkah uang saku dari beasiswa itu. Termasuk diantaranya memikirkan akankah dia bisa makan dengan layak disana.

Ha ha.

Duh, aku jadi teringat pada orang tuaku dulu.

Tak lama setelah lulus kuliah, pada usia kira- kira dua tahun lebih tua dari putri sulungku kini, aku bekerja di luar kota. Bekerja Senin sampai Jumat, pada hari Sabtu dan Minggu aku biasa pulang ke kota kelahiran.

Dan sungguh kupahami sekarang, kenapa ada banyak kejadian seperti ini kualami dulu jika aku pulang ke rumah pada akhir minggu.

“ D, “ kata ibuku, “ Itu di freezer ada brengkes kepiting. Ada sebungkus dipisahkan untuk D. “

Kali lain, “ D, ada gudeg di kulkas. Itu disisihkan untuk D. “

Atau, “ D, ada bika ambon.. “

Dan macam- macam hal lain yang serupa.

Kini, kupahami dengan amat sangat apa yang dulu dirasakan orang tuaku. 

Makanan memang seringkali bukan semata pengisi perut. There's love in the food. Pada banyak saat, makanan itu mencerminkan rasa cinta pada orang- orang terkasih.

***

Sumber Gambar: picnicfood-ideas.com
Sumber Gambar: picnicfood-ideas.com
Oh ya, omong- omong, bagaimana sebenarnya dengan putri sulungku. Sesusah itukah dia dalam urusan makanan serta pengaturan uang sakunya?

He he, sebetulnya tidak.

Saat ini dia tinggal di asrama universitas. Asramanya menyediakan makan dua kali sehari. Lalu satu kali dalam sehari dimana dia tidak mendapat jatah makan dari asrama, anakku memasak  nasi sendiri. Tidak ada dapur di asramanya, hanya ada microwave di pantry. Maka, dia tak memasak lauk. Lauknya dia beli di luar dalam bentuk matang.

“ Beli apa biasanya ? “ tanya ayahnya pada putriku.

“ Beli ikan, “ jawab putriku. “ Ukurannya besar- besar. Sekali beli, bisa dimakan beberapa kali.”

Oh, jadi dia bisa makan ikan betulan, rupanya. Bukan hanya siripnya.

Belum lagi, rupanya di awal semester begini banyak tempat makan di sekitar kampusnya memberikan voucher makan gratis.

Adiknya sampai berkomentar, “ Mbak ini lho, koq kerjanya makan melulu… “ ketika suatu hari kakak sulungnya bercerita bahwa dia mendapatkan taco gratisan. “ Juga burrito, “ kata kakaknya.

“ Dan padahal kemarin malam katanya mbak juga dapat voucher makan malam gratis all you can eat dari tempat lain, terus pergi ramai- ramai dengan teman- temannya makan gratisan itu ,” cerita adiknya padaku.

Oh, begitu ya, pikirku.

Hmm, jadi memang sebetulnya aku tak harus terlalu mengkhawatirkan dia. Putri sulungku itu sedang menyongsong masa depannya dengan kuliah di benua lain, sambil bersenang- senang menikmati hidup.

Tapi sungguh, walau aku menyadari hal itu, aku sendiri tidak yakin bahwa setelah ini tak akan ada lagi air mata yang tumpah jika aku melihat suatu jenis makanan dan teringat pada si sulung. 

Ah, ibu- ibu mungkin memang begitu ya, bawaannya? Ha ha.. ( Oh ya, betulan,  deh, kalimat terakhir ini judulnya memang  mencari pembenaran saja atas kecemasan yang suka berlebihan itu, ha ha )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun