Setiba di Mina, aku merupakan satu dari beberapa orang yang terakhir masuk ke dalam tenda. Sebab seperti biasa, aku turun perlahan- lahan saja dari bus. Lalu kemudian, saat hendak menyeberang jalan, aku dan suamiku berjalan bersama satu nenek sepuh berusia sekitar sembilan puluhan tahun.Â
Putra nenek tersebut yang juga serombongan dengan kami masih sibuk menurunkan beberapa barang dari bus. Maka dengan sebelah tangan suamiku menggandeng nenek tersebut, sementara tangannya yang lain menggandengku kami ketika menyeberang jalan menuju tenda.
Ketika kami masuk ke dalam tenda, hampir semua kasur sudah berpenghuni. Kami akan harus mengambil apapun yang tersisa, tak bisa memilih lagi. Tapi…
Begitulah.
Allah Maha Mengatur.
Maka, damailah hari- hariku di Mina (dan juga, kelak, di Arafah), bahkan tanpa aku harus berebut.
Nenek yang kuceritakan ini berpembawaan periang, gigih sekaligus easy going, dan mudah tertawa. Sementara jamaah lain yang sudah kukenal sejak di tanah air itu penyabar. Selama di Mina, dan beberapa hari kemudian di Arafah, kasurku terapit oleh kedua orang tersebut. Hatiku damai, tenang, tak terganggu oleh kerusuhan yang tak perlu.
Lalu bagaimana tentang lokasi kasur? Adakah kasur yang seadanya dan tak kami pilih lokasinya itu tak enak letaknya?
Oh tidakkk, malah sebaliknya.