Lalu suatu hari, datanglah tawaran itu. Untuk mengajar di sebuah institut teknologi di Tokyo dengan gambaran masa depan yang lebih jelas. Institut itu menjanjikan bahwa adikku kelak bisa mendapatkan gelar profesornya di institut tersebut.
Adikku ragu. Dia tahu apa yang dia mau. Di dalam dadanya, hanya ada satu tempat ke mana dia ingin kembali. Ke kota kelahiran. Dan ada satu tempat di mana dia sangat ingin membaktikan ilmunya: almamaternya. Lalu ada diskusi, dengan pihak institut di Tokyo, juga dengan para senior di almamaternya, perguruan tinggi di mana dia mengajar dengan status yang tidak jelas dan tak terdaftar resmi itu. Dicoba saja dulu, kata mereka. Kalau betah, teruskan, jika tidak, ya sudah.
Maka berangkatlah dia ke Jepang. Tinggal selama beberapa bulan di sana. Saat dia berada di Jepang itulah, aku sempat mampir menengoknya. Dan terjadilah percapakan di Tokyo itu, “Jadi, gimana,“ tanyaku padanya, “mau terus di sini atau pulang?“ Pertanyaan yang kemudian dijawabnya dengan gelengan dan pernyataan bahwa dia hendak pulang ke Tanah Air saja.
Logis, pikirku. Jika dia ingin mengajar di universitas di luar negeri, dia bahkan tak perlu melakukan itu di Jepang. Dia bisa mengajar di Eropa di negara tempatnya memperoleh Doktor, sebab tawaran itu sudah pula datang lebih dahulu kepadanya. Saat itu dia juga sudah memiliki rumah di sana. Tapi semua itu toh dia tinggalkan sebab panggilan hatinya untuk kembali ke Indonesia, ke Tanah Air. Ke tempat di mana dia bahkan status kepegawaiannya tidak jelas. Dan saat itu padahal di Tanah Air, adikku ini bahkan belum pula memiliki rumah. Dia benar- benar harus mulai dari nol. Tapi dia tetap ingin pulang.
***
Saat kami sedang berjalan menembus udara dingin yang menggigit tulang di Tokyo itu, sebuah sepeda melintas di dekat kami. Penumpangnya ternyata mahasiswa asal Indonesia. Mahasiswa itu turun dari sepeda, lalu menyalami adikku. Adikku kemudian memperkenalkannya kepadaku. Kami bercakap-cakap sebentar, lalu mahasiswa itu berlalu.
“Dia itu, Mbak,“ kata adikku, “hebat. Pintar sekali.“ Jelas terdengar nada bangga dalam suara adikku. Mahasiswa yang baru saja berlalu itu adalah mahasiswa S-2 asal Indonesia yang diberikannya sedikit bantuan.
“Kalau ngebimbing mahasiswa Indonesia itu, rasanya beda dengan membimbing mahasiswa yang bukan dari Indonesia,“ kata adikku. “Aku rasanya sedang membangun negeri jika membimbing mahasiswa Indonesia. Kalau membimbing mahasiswa dari negara lain, aku nggak pake rasa, ya sekedar melakukan pekerjaan profesional aja. Beda banget rasanya dengan kalau membimbing mahasiswa Indonesia.“
Aku mengangguk, mengerti apa yang dikatakannya.
Kupahami, idealisme semacam itulah yang membuatnya berteguh hati untuk mengajar di almamaternya walau tanpa status yang jelas. Rasa bahwa dia sedang membangun negeri saat dia mendidik dan membimbing para mahasiswa Indonesia, yang tak diperolehnya jika dia mengajar di universitas di luar negeri.
***