Suatu hari yang dingin, di Tokyo, saat bunga sakura mulai menyembul di sana-sini.
KAMI, aku dan adikku, bercakap-cakap sambil berjalan kaki.
“Jadi, gimana,“ tanyaku kepadanya, “Mau terus di sini atau pulang?“
Adikku menggeleng.
“Nggak, Mbak,“ katanya, “Aku pulang saja.“
Kami ada di sebuah kampus institut teknologi di Tokyo ketika itu. Percakapan yang kami lakukan adalah tentang rencananya ke depan, apakah akan menerima tawaran untuk terus mengajar di kampus di Tokyo tersebut atau pulang ke Tanah Air.
Sudah tampak sangat cerdas sejak masih kecil, adik ini sering sekali diminta mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat. Kecemerlangannya berlanjut hingga sekolah menengah dan di universitas. Dia diterima di perguruan tinggi negeri terkenal di kota kelahiran kami tanpa tes.
Lulus S-2 dengan cum laude, adikku ini kemudian memperoleh beasiswa untuk meneruskan pendidikan Doktoralnya di sebuah negara di Eropa. Dalam usia 30 tahun, dia memperoleh gelar Doktor di bidang aeronautika. Setelah itu, dia masih terus tinggal di negara tersebut selama beberapa tahun untuk melakukan post doctoral research.
Mudah diduga, dengan kecemerlangan otaknya, tawaran untuk tetap tinggal dan bekerja di negara tempatnya memperoleh gelar doktor diberikan kepadanya. Dia juga menerima tawaran dari sebuah negara maju lain. Diterimanyakah tawaran itu? Tidak. Adikku tak menerimanya. Dia sudah bertekad untuk pulang ke Indonesia. Untuk berkarya di Indonesia.Â
Lalu mengapa kemudian dia sampai ada di Tokyo? Karena, tekadnya untuk kembali ke Indonesia, lalu mengajar menjadi dosen di almamaternya, tak semudah itu bisa terwujud. Ada perubahan status perguruan tinggi di tahun saat dia kembali ke Indonesia itu, yang menyebabkan dihentikannya penerimaan dosen baru. Jikapun ada, status kepegawaiannya tidak jelas.
Kusaksikan sendiri bagaimana adikku (dan beberapa Doktor lain lulusan luar negeri ), pada saat itu dengan nekatnya tetap teguh melanjutkan niatan mereka kembali ke almamater. Tak perduli bahwa sebenarnya mereka tidak secara resmi tercatat namanya di perguruan tinggi tersebut. Tak juga peduli bahwa bahkan untuk menggaji mereka, sebab nama mereka tak ada dalam daftar resmi, perguruan tinggi tersebut harus menyisihkan dana dari sana dan sini. Dan itu bukan berlangsung sehari dua hari, bukan seminggu dua minggu. Kondisi seperti itu berjalan sampai hitungan tahun!
Lalu suatu hari, datanglah tawaran itu. Untuk mengajar di sebuah institut teknologi di Tokyo dengan gambaran masa depan yang lebih jelas. Institut itu menjanjikan bahwa adikku kelak bisa mendapatkan gelar profesornya di institut tersebut.
Adikku ragu. Dia tahu apa yang dia mau. Di dalam dadanya, hanya ada satu tempat ke mana dia ingin kembali. Ke kota kelahiran. Dan ada satu tempat di mana dia sangat ingin membaktikan ilmunya: almamaternya. Lalu ada diskusi, dengan pihak institut di Tokyo, juga dengan para senior di almamaternya, perguruan tinggi di mana dia mengajar dengan status yang tidak jelas dan tak terdaftar resmi itu. Dicoba saja dulu, kata mereka. Kalau betah, teruskan, jika tidak, ya sudah.
Maka berangkatlah dia ke Jepang. Tinggal selama beberapa bulan di sana. Saat dia berada di Jepang itulah, aku sempat mampir menengoknya. Dan terjadilah percapakan di Tokyo itu, “Jadi, gimana,“ tanyaku padanya, “mau terus di sini atau pulang?“ Pertanyaan yang kemudian dijawabnya dengan gelengan dan pernyataan bahwa dia hendak pulang ke Tanah Air saja.
Logis, pikirku. Jika dia ingin mengajar di universitas di luar negeri, dia bahkan tak perlu melakukan itu di Jepang. Dia bisa mengajar di Eropa di negara tempatnya memperoleh Doktor, sebab tawaran itu sudah pula datang lebih dahulu kepadanya. Saat itu dia juga sudah memiliki rumah di sana. Tapi semua itu toh dia tinggalkan sebab panggilan hatinya untuk kembali ke Indonesia, ke Tanah Air. Ke tempat di mana dia bahkan status kepegawaiannya tidak jelas. Dan saat itu padahal di Tanah Air, adikku ini bahkan belum pula memiliki rumah. Dia benar- benar harus mulai dari nol. Tapi dia tetap ingin pulang.
***
Saat kami sedang berjalan menembus udara dingin yang menggigit tulang di Tokyo itu, sebuah sepeda melintas di dekat kami. Penumpangnya ternyata mahasiswa asal Indonesia. Mahasiswa itu turun dari sepeda, lalu menyalami adikku. Adikku kemudian memperkenalkannya kepadaku. Kami bercakap-cakap sebentar, lalu mahasiswa itu berlalu.
“Dia itu, Mbak,“ kata adikku, “hebat. Pintar sekali.“ Jelas terdengar nada bangga dalam suara adikku. Mahasiswa yang baru saja berlalu itu adalah mahasiswa S-2 asal Indonesia yang diberikannya sedikit bantuan.
“Kalau ngebimbing mahasiswa Indonesia itu, rasanya beda dengan membimbing mahasiswa yang bukan dari Indonesia,“ kata adikku. “Aku rasanya sedang membangun negeri jika membimbing mahasiswa Indonesia. Kalau membimbing mahasiswa dari negara lain, aku nggak pake rasa, ya sekedar melakukan pekerjaan profesional aja. Beda banget rasanya dengan kalau membimbing mahasiswa Indonesia.“
Aku mengangguk, mengerti apa yang dikatakannya.
Kupahami, idealisme semacam itulah yang membuatnya berteguh hati untuk mengajar di almamaternya walau tanpa status yang jelas. Rasa bahwa dia sedang membangun negeri saat dia mendidik dan membimbing para mahasiswa Indonesia, yang tak diperolehnya jika dia mengajar di universitas di luar negeri.
***
Adikku kembali ke Indonesia setelah beberapa bulan berada di Jepang. Kembali mengajar di almamaternya. Tetap dengan status yang tidak jelas. Tak dia perdulikan ketidak jelasan status itu, sebab dia memang sudah bertekad untuk melakukan itu. Status kepegawaian yang resmi terdaftar akhirnya baru dia dapatkan beberapa tahun kemudian.
Adikku bukan hanya mengajar. Tapi juga melakukan riset. Dia beberapa kali dengan bangga menunjukkan padaku artikel-artikel di koran-koran dan majalah terkemuka di Tanah Air. “Ini hasil risetku,“ katanya. Ada pernah juga dia menunjukkan padaku link ke YouYube, rekaman sebuah acara televisi nasional yang meliput benda yang diciptakan adikku bersama timnya.
Kita semua tahu, laboratorium dan sarana untuk melakukan riset di Indonesia tak selengkap dan secanggih di luar negeri. Dana untuk melakukan riset juga tak seberlimpah itu. Tapi adikku tak pernah menyerah. Dia terus berkarya.
“Aku dapat penghargaan dosen berprestasi,“ katanya suatu ketika. Lalu lagi, dan lagi. Penghargaan dosen berprestasi itu dibagi menjadi 3 kategori. Dan adikku dalam beberapa tahun yang berbeda mendapatkan penghargaan sebagai dosen berprestasi lagi dan lagi sebab dia memperoleh penghargaan untuk kategori yang berbeda-beda di bidang pengajaran, di bidang penelitian dan di bidang karya inovasi. Dia dengan lengkap pernah memperoleh penghargaan di semua kategori.
Adikku ini, pemegang hak paten atas beberapa benda hasil risetnya. Kuperhatikan bahwa saat melakukan riset, tujuan utama risetnya adalah untuk kemanusiaan. Untuk menciptakan barang-barang yang selama ini hanya bisa diperoleh dengan cara mengimpor yang mahal dan kadang perlu waktu lama untuk memesan. Atau juga, benda lain yang diciptakannya dibuat untuk memudahkan manusia yang memiliki kendala untuk melakukan sesuatu.
Adikku, tak pernah menyerah pada status tak menentu, pada keterbatasan sarana maupun prasarana. Dia sudah bertekad untuk membaktikan diri untuk negeri ini. Semangat membangun negeri itulah yang membuatnya bisa tetap berprestasi walau banyak kesulitan menghadang.
Bravo, dik. Sungguh, aku selalu bangga padamu.
Dirgahayu Indonesia!
p.s. - Artikel terkait:Â Kembalilah Ke Tanah Air Seusai Menyelesaikan Pendidikan di Luar Negeri
 - Di bawah ini adalah video lagu Merah Putih karangan Gombloh.. " Tunjukkanlah kepada dunia, semangatmu yang panas membara... "
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI