Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bayi yang Dibesarkan dengan ASI Beku Itu Meraih Beasiswa Kuliah ke Luar Negeri

7 Agustus 2016   09:53 Diperbarui: 7 Agustus 2016   10:28 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan waktu keberangkatan itu kian mendekat…

CAH ayu, putri sulungku mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri.

This is a dream comes true.

Mimpi yang menjadi kenyataan.

Bukan cuma sekedar mimpi sesaat, tapi mimpi panjaanggg.. dan cita- cita yang selalu dipupuk dan dirawat, kemudian diupayakan untuk bisa tercapai.

Beasiswa didapatnya dari sebuah lembaga internasional yang sangat prestisius. Persaingan untuk memperolehnya, tak perlu dijelaskan lagi. Amat, sangat. Dalam email yang diterimanya sebagai pemberitahuan bahwa dia berhak menerima beasiswa ini, dijelaskan berapa jumlah pelamar beasiswa internasional yang pelamarnya datang dari berbagai negara ini, bagaimana proses seleksinya dan betapa ketat persaingan dan sulitnya proses seleksi sebab para pelamar beasiswa itu semua juga memiliki kualifikasi yang sangat baik.

Dan persiapan keberangkatan mewarnai hari- hari di rumah kami.

Dari urusan dokumen, membelikan koper baru, membuat daftar apa- apa saja yang perlu dibawa, menukar uang ke mata uang negara yang dituju untuk tambahan bekalnya .

Dia juga mulai mengikuti briefing dari lembaga pemberi beasiswa tentang program yang akan diikutinya itu.

Dan ah…

Aku senang, tentu saja.

Kami semua sekeluarga senang. Kami tahu bahwa beasiswa ini bukan sekedar durian runtuh yang diperolehnya tiba- tiba. Putri kami ini bekerja keras bertahun- tahun untuk mencapai cita- citanya, salah satunya untuk bisa kuliah dengan beasiswa di luar negeri.

Aku sungguh terharu…

Putri kami kini siap melangkahkan kaki ke tahap selanjutnya dalam hidup.

***

Lalu…

Kenangan itu berputar…

Kembali ke masa- masa ketika dia baru dilahirkan.

Bayi mungil yang cantik itu sebetulnya tidak dibesarkan dalam kondisi ideal di awal- awal kelahirannya.

Tidak, bukan, dia tidak kekurangan kasih sayang. Kami semua menyambut kelahirannya dengan rasa syukur dan cinta yang berlimpah. Hanya saja rencana kami bahwa seusai dilahirkan di kota asalku dimana orang tuaku berada dan kemudian aku menghabiskan masa cuti hamilku yang tiga bulan disana lalu bayi yang baru lahir itu akan dibawa ke kota dimana aku dan suamiku tinggal ternyata tak bisa dilaksanakan.

Bayi mungil itu lahir sehat. ASI-ku juga berlimpah. Taka da masalah dengan itu.Namun, pada imunisasi pertama yang diperolehnya, terdeteksi bahwa bayi mungil ini over sensitive pada imunisasi tersebut. Reaksi yang ditunjukkan badannya lebih dari seharusnya.

Dokter tidak bisa memprediksi apakah reaksi semacam itu ( yang membuat dia kemudian harus diberi obat untuk menanggulanginya ) hanya terjadi pada imunisasi BCG atau akan pula terjadi pada imunisasi- imunisasi jenis lain.

Waduh.

Itu bukan urusan sederhana.

Kota dimana aku dan suamiku tinggal saat itu bukan kota asal kami.  Tak ada orang tua, atau saudara dekat kami tinggal di kota yang sama. Kami ketika itu bahkan belum terlalu familiar dengan kondisi kota tersebut, dan belum pula memiliki langganan dokter anak,  padahal ada kemungkinan bayi  ini akan perlu perawatan ekstra di saat- saat imunisasinya.

 Maka perundingan keluarga dilakukan. Tujuan utamanya tentu saja keamanan, kesehatan dan keselamatan sang bayi..

Keputusan dibuat, bayi kami akan tetap tinggal bersama kedua orang tuaku sementara saat cutiku melahirkanku habis, aku akan kembali ke kota dimana aku dan suamiku tinggal, sebab aku harus kembali bekerja.

Deal.

Semua senang. Kami senang sebab merasa itulah keputusan paling aman untuk bayi kami. Kedua orang tua kami juga senang dititipi cucu pertama untuk dirawat.

Masalah yang timbul kemudian adalah, bagaimana dengan ASI untuk bayi itu? Sebab dengan diambilnya keputusan tersebut, berarti aku dan bayiku akan terpisah jarak sekitar 200 Kilometer!

ASIku sendiri, Alhamdulillah, mengalir banyak dan aku sungguh tak ingin menyia- nyiakan hal tersebut.

Saat bayi kami lahir, kampanye ASI eksklusif meliputi periode empat bulan, bukan enam bulan seperti saat ini. Dan sungguh aku ingin memberikan ASI eksklusif itu paling sedikit sampai empat bulan sebelum bayi kami memperoleh makanan tambahan, lalu juga tetap ingin memberikan ASI itu kemudian selama mungkin bahkan setelah dia mendapatkan makanan tambahan.

Maka..

Yang akhirnya kulakukan adalah menampung ASI tersebut.

Freezer di rumah dikosongkan, dan difungsikan semata untuk membekukan ASI yang kutampung berbotol- botol. Kapanpun ada kesempatan, kulakukan untuk menampung ASI tersebut. Di kantor, di rumah, aku menampung ASI- ku. Botolnya diberi nomor dan tanggal, untuk mengetahui urutan penampungan yang juga kemudian akan menjadi urutan diberikannya ASI tersebut pada bayi.

Sementara itu, percayalah, memberikan ASI langsung pada bayi itu sangat menyenangkan. Memeluknya, berinteraksi langsung sementara memberikan ASI itu merupakan saat- saat yang membahagiakan. Tapi menampung ASI.. well, sejujurnya, tak semenyenangkan itu. Kadang ada rasa nyeri baik pada fisik maupun di hati saat melakukannya, he he. Belum lagi beragam ‘kerepotan’ yang ditimbulkan terutama jika aku menampung ASI di kantor yang jaraknya jauh dari rumah, ada urusan bagaimana memastikan bahwa ASI itu masih dalam kondisi baik ketika kubawa pulang ke rumah untuk dibekukan.

Lalu, urusan bertambah sebab ya itu, bayiku berada di tempat yang berjarak 200 KM dari tempat aku sendiri berada.

Kami memutar otak.

Dan akhirnya diputuskan, bahwa ASI beku itu akan dibawa dalam termos es oleh asisten rumah tangga kami dua hari sekali dengan naik bus antar kota.

Asisten rumah tangga kami saat itu adalah gadis belia pemberani yang dengan senang hati melaksanakan tugas tersebut. Dia riang gembira saja dua hari sekali pagi- pagi diantarakan ke terminal bus untuk membawa ASI beku tersebut ke kota tujuan, lalu ketika ASI-nya sudah diterima oleh orang tuaku, asisten rumah tangga kami itu kembali dengan bus ke kota kami untuk dua hari kemudian melakukan lagi hal yang sama.

Aku sendiri, selain pulang ke kota kelahiran setiap hari Jumat dan kembali bekerja di hari Senin, menambahkan satu hari di tengah minggu untuk pulang ke kota kelahiran, semata agar bisa menyusui bayiku. Di hari kerja itu, sepulang kantor aku akan langsung menuju ke setasiun kereta, naik kereta api selama tiga jam, tiba malam hari di kota dimana bayiku berada, memberikan ASI sepanjang malam, dan subuh keesokan harinya kembali naik kereta api langsung menuju ke kantor.

Berbulan- bulan hal tersebut dilakukan, bayiku sama sekali tak mendapat susu formula sampai usianya sekitar 7 bulan. Setelah usia 7 bulan, aku tetap menjalani rutinitas semacam itu, bayiku tetap mendapat ASI, kurelakan bayiku memperoleh susu formula sebagai tambahan kadang- kadang jika diperlukan. Saat itu, dia juga sudah mulai memperoleh makanan lain selain susu.

***

Sungguh, ada banyak tawa dan air mata ketika menjalani proses ini. Baik dari aku, maupun dari ibuku yang dengan hati- hati mengurus bayi dan ASI beku yang kukirimkan. Ada saat dimana suatu hari, dalam proses pencairan ASI itu, ketika menuangkan ASI dari botol asal ke gelas penampung ASI hangat yang sudah dicairkan, ASI tersebut tumpah sedikit.

Ibuku menangis, baik ketika hal tersebut terjadi, juga ketika menceritakan hal tersebut padaku, menyesali bahwa ASI yang ditampung setetes demi setetes itu ternyata tumpah.

Benar- benar diperlukan banyak kekuatan dan  ketegaran hati untuk bisa melakukan dan tetap konsisten melakukan apa yang kami lakukan saat itu. Kerjasama nenek-ibu-bayi yang syukurlah, berjalan baik. Bayi mungil putri kami tumbuh sehat. Alhamdulillah, dia ternyata juga tak menunjukkan reaksi berlebihan pada imunisasi- imunisasi berikutnya.

Cerita tentang ASI beku yang dikirimkan dalam termos es dengan bus antar kota dua hari sekali ini menjadi legenda dalam keluarga kami. Kadang- kadang dibicarakan dengan nada haru, kadang dengan nada bercanda, tentang bagaimana ada bayi yang menggantungkan hidupnya pada ASI beku kiriman dari luar kota.

Tapi, bagaimanapun ceritanya, apa yang berakhir baik, artinya baik adanya. Bayi yang dulu dibesarkan dan tumbuh dengan ASI beku itu, kini sudah lulus sidang tugas akhir di fakultas teknik sebuah Perguruan Tinggi Negeri ternama di tanah air dan siap terbang tinggi meraih cita- citanya yang lain untuk menempuh pendidikan tambahan di sebuah universitas di luar negeri.

p.s. Berangkatlah untuk mencari ilmu, Nduk, dan kelak pulanglah ke tanah air untuk turut membangun negeri ini. Semoga kau selalu sehat. Raihlah cita- citamu. Nikmati masa kuliahmu disana. Doa dan cinta ibu menyertaimu. Selalu.

** Tulisan terkait:

ASI, Cinta Ibu yang Mengalir Deras untuk Bayinya

Yang Ringan dan Lucu tentang ASI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun