Yang akhirnya kulakukan adalah menampung ASI tersebut.
Freezer di rumah dikosongkan, dan difungsikan semata untuk membekukan ASI yang kutampung berbotol- botol. Kapanpun ada kesempatan, kulakukan untuk menampung ASI tersebut. Di kantor, di rumah, aku menampung ASI- ku. Botolnya diberi nomor dan tanggal, untuk mengetahui urutan penampungan yang juga kemudian akan menjadi urutan diberikannya ASI tersebut pada bayi.
Sementara itu, percayalah, memberikan ASI langsung pada bayi itu sangat menyenangkan. Memeluknya, berinteraksi langsung sementara memberikan ASI itu merupakan saat- saat yang membahagiakan. Tapi menampung ASI.. well, sejujurnya, tak semenyenangkan itu. Kadang ada rasa nyeri baik pada fisik maupun di hati saat melakukannya, he he. Belum lagi beragam ‘kerepotan’ yang ditimbulkan terutama jika aku menampung ASI di kantor yang jaraknya jauh dari rumah, ada urusan bagaimana memastikan bahwa ASI itu masih dalam kondisi baik ketika kubawa pulang ke rumah untuk dibekukan.
Lalu, urusan bertambah sebab ya itu, bayiku berada di tempat yang berjarak 200 KM dari tempat aku sendiri berada.
Kami memutar otak.
Dan akhirnya diputuskan, bahwa ASI beku itu akan dibawa dalam termos es oleh asisten rumah tangga kami dua hari sekali dengan naik bus antar kota.
Asisten rumah tangga kami saat itu adalah gadis belia pemberani yang dengan senang hati melaksanakan tugas tersebut. Dia riang gembira saja dua hari sekali pagi- pagi diantarakan ke terminal bus untuk membawa ASI beku tersebut ke kota tujuan, lalu ketika ASI-nya sudah diterima oleh orang tuaku, asisten rumah tangga kami itu kembali dengan bus ke kota kami untuk dua hari kemudian melakukan lagi hal yang sama.
Aku sendiri, selain pulang ke kota kelahiran setiap hari Jumat dan kembali bekerja di hari Senin, menambahkan satu hari di tengah minggu untuk pulang ke kota kelahiran, semata agar bisa menyusui bayiku. Di hari kerja itu, sepulang kantor aku akan langsung menuju ke setasiun kereta, naik kereta api selama tiga jam, tiba malam hari di kota dimana bayiku berada, memberikan ASI sepanjang malam, dan subuh keesokan harinya kembali naik kereta api langsung menuju ke kantor.
Berbulan- bulan hal tersebut dilakukan, bayiku sama sekali tak mendapat susu formula sampai usianya sekitar 7 bulan. Setelah usia 7 bulan, aku tetap menjalani rutinitas semacam itu, bayiku tetap mendapat ASI, kurelakan bayiku memperoleh susu formula sebagai tambahan kadang- kadang jika diperlukan. Saat itu, dia juga sudah mulai memperoleh makanan lain selain susu.
***
Sungguh, ada banyak tawa dan air mata ketika menjalani proses ini. Baik dari aku, maupun dari ibuku yang dengan hati- hati mengurus bayi dan ASI beku yang kukirimkan. Ada saat dimana suatu hari, dalam proses pencairan ASI itu, ketika menuangkan ASI dari botol asal ke gelas penampung ASI hangat yang sudah dicairkan, ASI tersebut tumpah sedikit.