Aku dan ayahnya sepakat, walau dia bersekolah di sekolah mahal, kami akan meminta anak kami ini pulang dan pergi sekolah naik angkot.
Dengan cara ini, kami berharap dia terbuka wawasan dan pandangannya. Dengan sehari-hari naik angkot, dia akan bisa melihat anak-anak sekolah lain yang uang sakunya mepet.
Dia juga akan bisa mendengar percakapan para orang tua tentang harga-harga yang naik terus atau juga kadang pusing mencari tambahan uang untuk keperluan mendesak dalam jumlah yang sebetulnya tak besar (aku sendiri pernah mendengar percakapan dua orang dewasa yang bingung mencari tambahan uang yang sebetulnya jumlahnya tak seberapa, Rp. 20.000,- saja, di angkot).
Hal-hal semacam itu, hanya akan dia pahami jika dia melihatnya sendiri.
Untuk membuatnya paham, kami terangkan padanya tujuan kami memintanya melakukan itu.
Kami juga, tentu saja, sejak awal sudah menyadari, bahwa memintanya untuk pulang pergi naik angkot akan membuat anak kami ‘berbeda’ dengan anak-anak lain di sekolahnya. Maka, ada satu hal lain lagi yang kami ajarkan pada dia, bahwa naik angkot ketika teman-teman lain naik mobil itu sama sekali bukan hal yang memalukan.
Kami ajarkan bahwa itu sama sekali tak mengurangi derajat maupun harga dirinya.
Kami percaya, kemampuan untuk mengambil sikap yang berbeda dengan kebanyakan orang di sekitarnya jika memang diperlukan, akan sangat berguna bagi perkembangan kepribadiannya.
***
Prediksi kami benar.
Sekolah dimana anak kami bersekolah saat SMP itu terdiri dari SD, SMP dan SMA. Dan menurut apa yang kami dengar, dari begitu banyak murid di semua tingkatan sekolah itu.. hanya ada 3 murid yang biasa naik angkot.