Aku ingin, mereka memandang mobil semata sebagai alat transportasi. Alat bantu belaka. Bukan dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan nilai atau harga diri mereka.
Hal-hal yang berhubungan dengan nilai dan harga diri mereka, kuharapkan, berasal dari hal-hal yang lebih dalam dan esensial, bukan urusan-urusan kulit semacam mobil apa yang dikendarai atau dimiliki…
***
Bicara soal mobil dan falsafah hidup, aku ingat saat anak lelaki tengahku ini masuk SMP dulu.
Anak tengah ( yang kini sudah menjadi mahasiswa fakultas teknik di sebuah perguruan tinggi negeri) itu sempat membuat kami deg-degan di masa kanak-kanaknya dulu.
Sebab dia sering mogok sekolah. Hal yang terjadi sebab kemampuan intelegensi dan sosialnya saat itu agak njomplang.
Intelegensinya tinggi, dia sangat kritis dan juga sensitif, tapi kemampuan sosial yang dia miliki belum cukup baik untuk membuat dia bisa menyikapinya dengan baik.
Dia sering merasa ada ketidak adilan di sekolah, juga sering kesal sebab guru-guru bicara satu arah, sementara dia merasa seharusnya murid-murid juga lebih didengarkan pendapatnya. Di SD, anak tengahku ini masuk kelas akselerasi, tapi ya itu.. kebiasaan mogok sekolahnya terus berlangsung.
Kami tentu saja tak ingin hal ini berulang saat dia duduk di bangku SMP. Jadi kami coba mencari sekolah yang cocok dengan kondisinya saat itu.
Kami mencari sekolah yang lebih memperhatikan dan menerima keunikan anak sebagai individu. Sekolah yang memberikan ruang bagi keberagaman pendapat. Yang lebih terbuka terhadap perbedaan tahap perkembangan masing-masing anak.
Sekolah semacam itu kami temukan. Kami ajak anak kami kesana untuk melihat-lihat dan bahkan sejak pertama kali kami kesana, dia langsung menyukai suasananya.