To make the story short, baik kami orang tua maupun dia sendiri, sepakat bahwa dia akan masuk ke sekolah tersebut saat SMP.
Tapi…
Ada ‘sedikit’ masalah.
Sekolah itu sekolah mahal.
Kami, aku dan ayahnya, mau tidak mau, memperhitungkan dampak pergaulan anak kami di sekolah tersebut nanti.
Tidak, bukan karena anak-anaknya bandel. Sama sekali bukan. Anak-anak di sekolah itu santun sebab pendidikan karakter juga dipentingkan di sekolah.
Namun, ada satu hal yang tak bisa dihindari. Sebab sekolah tersebut mahal, baik uang pangkal maupun uang bulanannya, maka dengan sendirinya anak-anak yang bersekolah di situ terseleksi dari kondisi ekonomi orang tuanya. Hanya anak dari orang tua yang memiliki kemampuan ekonomi tertentu yang akan sanggup membayar biaya sebesar itu.
Ada kekhawatiran kami bahwa anak kami lalu nanti ‘take for granted’, menganggap standar normal pergaulannya adalah pergaulan yang agak ‘borju’ atau mahal, yang sungguh tak kami kehendaki.
Kami bersedia membayar biaya sekolahnya, sebab saat itu kami anggap itu diperlukan untuk perkembangan kepribadian dan kelangsungan pendidikan anak kami, tapi kami ingin anak kami tetap tumbuh menjadi anak yang sederhana. Anak yang bisa survive dalam kehidupan yang ‘biasa-biasa saja’.
Kami juga ingin anak kami itu paham, bahwa selain kehidupan berkelimpahan dan kemudahan materi yang akan dia lihat dari keseharian kawan-kawannya di sekolah itu, dia juga tahu, bahwa ada banyak orang lain, baik anak-anak, remaja, orang tua yang tidak seperti itu kondisi ekonominya.
Dan keputusanpun diambil.