“ Nanti yangti bikinkan nasi kuning, deh. Ibu pas lagi pergi kan waktu mas ulang tahun? “
ITU yang dikatakan ibuku, neneknya anak- anak, seminggu yang lalu, pada anak tengahku. Anak lelaki yang hari ini berulang tahun ke-17.
Dan aku, ibunya, pada hari ini, sedang berada di negara lain, ribuan kilometer dari anak yang sedang berulang tahun itu, sebab aku harus menghadiri sebuah meeting disini.
***
Ulang tahun, dalam keluarga kami, bukan sesuatu yang dirayakan dengan gegap gempita. Tapi, bukan juga hari yang diabaikan begitu saja.
Aku biasa menandainya dengan membuat nasi kuning di rumah. Kadang- kadang, kami sekeluarga makan bersama keluar di hari dimana salah satu dari kami berulang tahun.
Begitu saja. Tak ada sesuatu yang berlebihan. Tapi bagi kami, tetap saja hal semacam itu menyenangkan.
Dia sudah tumbuh besar sekarang, anak tengahku itu. Maka, ketika sejak beberapa minggu yang lalu kuberi tahu bahwa ada business trip yang harus kulakukan dan itu tepat pada minggu dimana salah satu harinya adalah hari ulang tahunnya, anakku ini dengan tenang menerima saja pemberitahuan itu.
Beda dengan suatu hari, dulu… saat dia masih di TK. Ketika kami memesan sebuah kue tart berbentuk lokomotif – kereta api adalah favoritnya saat dia kecil – dan membawanya ke sekolah untuk dibagikan pada teman- temannya.
Ayahnya, sudah kuwanti- wanti sejak lama untuk mengosongkan jadwalnya pada 1 Desember tahun itu, sebab anak tengah ini berulang tahun. Hal yang sudah disetujui oleh sang ayah, tapi terlupa menjelang harinya tiba.
Tak terlalu bisa disalahkan. Suamiku ini datang dari keluarga yang sama sekali tak pernah merayakan hari ulang tahun. Hari ulang tahun baginya adalah salah satu hari yang sama dengan hari- hari lainnya. Maka bahwa dia terlupa mengosongkan jadwalnya hari itu, bisa dimengerti. At least, aku memahami. Tapi tidak dengan anak tengahku ini.
Dia protes.
O- ooo…
Untunglah, ada ‘malaikat penyelamat’ yang akhirnya bisa meredakan kekecewaan anak tengahku di hari ulang tahunnya yang ke- 5 saat itu.
Si sulung, anak perempuanku yang saat itu masih bocah berusia delapan tahun tanpa terduga mengambil alih situasi. Dia mengatakan begini pada adiknya, “ Nggak apa- apa, dik. Bapak nggak datang ke ulang tahunmu itu. Aku juga pernah, malah dua kali lho. Pas aku ulang tahun ke-5, ibu ke Singapore. Terus tahun depannya, pas aku ulang tahun, Bapak ke Amerika. Nggak apa- apa koq. “
Waduh.
Aku berterima kasih sekali pada si sulung yang bicara begitu pada adiknya. Membuat adiknya merasa bahwa dia tidak sendiri, mengetahui bahwa kakaknya juga pernah mengalami hal yang sama, bahkan dua tahun berturut- turut. Maka, kekecewaannya agak menyurut.
Duh.. aku terharu juga atas sikap si sulung. Padahal, aku ingat sekali apa yang terjadi di ulang tahun ke-5 anak sulungku itu.
Ingatannya benar. Aku tak ada di rumah pada hari ulang tahun ke-5 si sulung, anakku yang perempuan tersebut, sebab aku harus pergi ke Singapore untuk urusan kantor. Saat itu, untuk menyenangkan hatinya, aku membungkus beberapa benda- benda kecil, pernak- pernik yang akan disukai oleh anak perempuan seusianya, sebagai kado ulang tahunnya. Aku berharap, dengan menerima beberapa buah kado itu, dia akan senang dan terhibur walau ibunya tak ada di rumah pada hari itu.
Yang terjadi?
Aku ingat sekali, kuhubungi anakku ini melalui telepon dari Singapore, untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan menanyakan apakah dia sudah membuka kado yang kutinggalkan dan apakah dia menyukainya.
Jawabannya diluar dugaanku. Katanya, “ Iya, aku sudah buka satu. “
Kujawab, “ Cuma satu? Yang lain belum dibuka? “
“ Belum, “ jawab bocah perempuan mungil itu.
“ Kenapa, “ kataku, “ Buka aja… “
Dan jawaban yang diberikannya membuatku kehilangan kata- kata. “ Enggak, “ jawab anakku, “ Nanti aja bukanya kalau ibu sudah pulang, sama- sama dengan ibu… “
Oh, ya ampun.
Dan pada saat itulah aku belajar, bagi anak- anak itu, kado tak akan pernah bisa menggantikan kesenangan dimana orang tuanya hadir. Si sulung anakku itu tidak protes, tidak mempertanyakan, tapi dia bahkan menunda membuka kado yang kuberikan sebab ingin melakukannya bersama- sama denganku.
Dan lepas dari bahwa dia ternyata melakukan itu pada usianya yang ke-5, si sulung berusaha menghibur adiknya ketika sang adik berulang tahun dan ayahnya tak bisa hadir.
Mengharukan.
***
Kemarin, dalam perjalananku naik pesawat ke negara dimana kini aku berada, aku memikirkan anak tengahku yang hari ini berulang tahun ke-17 itu. Sebab, dia, di masa kecil hingga awal masa remajanya adalah pengamat yang sangat detail terhadap beragam alat transportasi.
Bus. Kereta api. Pesawat terbang.
Anakku ini saat kelas 2 SD, pernah pada suatu perjalanan liburan kami dengan mobil sengaja membawa buku catatan dan pensil, yang digunakannya untuk mencatat semua nama bus antar kota yang kami temui sepanjang perjalanan. Dia senang sekali setiap kali kami bertemu dengan bus yang namanya belum ada di dalam buku catatan miliknya.
Selain nama bus, dia juga memperhatikan bentuk wiper, penghapus air di kaca depan bus- bus yang kami temui. Dia amati kemana arah gerak wiper itu, yang rupanya ternyata berbeda antara bus yang satu dengan yang lain.
Anak tengah ini juga yang suatu hari membuat aku tercengang. Sebab dia menggambar KRL yang gerbong- gerbongnya hampir kosong, tapi ruang masinisnya penuh orang. Ketika kutanyakan mengapa, katanya sebab dia mendapati banyak orang yang senang naik KRL dan berada di ruang masinis, walau hal itu sebetulnya dilarang.
Dan tentang pesawat.. waduh. Jika aku bepergian untuk urusan kantor, dia selalu ingin tahu aku terbang dengan pesawat apa, baik nama penerbangannya maupun jenis pesawatnya.
“ Ibu nanti terbang dengan Airbus atau Boeing? “ katanya suatu ketika.
Ya ampun, mana aku tahu?
Atau juga pertanyaan macam ini, “ Bentuk mesin pesawat yang ibu naiki seperti apa?”
Aduh.. aku sama sekali tak pernah memperhatikan. Tadinya bahkan kupikir mesin pesawat itu bentuknya standard dan sama saja. Baru belakangan aku tahu bahwa tiap pabrik pesawat memproduksi mesin pesawat dalam bentuk yang berbeda. Maka orang- orang yang biasa memperhatikan dengan detail, akan tahu pabrik mana pembuat pesawat tertentu hanya dengan melihat bentuk mesinnya.
Anak yang ini juga, yang pernah suatu hari menjelang business trip-ku ke Amerika, mewanti- wanti aku untuk membuat catatan, karena bukan hanya dia ingin tahu nama penerbangan serta semua jenis pesawat yang kutumpangi dalam perjalanan itu tapi dia juga ingin tahu dimana saja aku transit dan jenis makanan apa yang kuterima di dalam pesawat.
Sungguh, aku senang sekali bahwa akhirnya, saat dia sudah mahasiswa kini, di universitas anakku masuk ke jurusan yang sesuai dengan minat dan kebiasaannya memperhatikan alat transportasi, jenis pesawat, bentuk mesin dan sebagainya. Semoga kelak, dia akan bisa menjadi ahli di bidang ini.
Last but not least, he he.. walau tahu bahwa bagaimanapun kehadiranku tak akan bisa digantikan, tapi, selain bahwa hari ini dia akan dibuatkan nasi kuning oleh neneknya, aku sudah pula memesan sebuah kue tart untuknya. Kupastikan bahwa tart yang dipesan itu bukan tart rasa coklat. Sebab anak tengahku ini senantiasa mengatakan bahwa kue tart rasa coklat selalu terasa terlalu manis di lidahnya. Maka, kupesan kue dengan rasa vanilla jeruk baginya.
Kue tart itu, semoga bisa menyenangkan hari ulang tahunnya yang ke-17 hari ini. Walau aku tak bisa hadir di dekatnya hari ini...
p.s. Ditulis sepenuh cinta dari kamar hotel di negara tetangga, untuk anak tengahku yang sedang berulang tahun ke-17. Selamat ulang tahun, mas. Doa dan cinta ibu selalu untukmu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H