Dia protes.
O- ooo…
Untunglah, ada ‘malaikat penyelamat’ yang akhirnya bisa meredakan kekecewaan anak tengahku di hari ulang tahunnya yang ke- 5 saat itu.
Si sulung, anak perempuanku yang saat itu masih bocah berusia delapan tahun tanpa terduga mengambil alih situasi. Dia mengatakan begini pada adiknya, “ Nggak apa- apa, dik. Bapak nggak datang ke ulang tahunmu itu. Aku juga pernah, malah dua kali lho. Pas aku ulang tahun ke-5, ibu ke Singapore. Terus tahun depannya, pas aku ulang tahun, Bapak ke Amerika. Nggak apa- apa koq. “
Waduh.
Aku berterima kasih sekali pada si sulung yang bicara begitu pada adiknya. Membuat adiknya merasa bahwa dia tidak sendiri, mengetahui bahwa kakaknya juga pernah mengalami hal yang sama, bahkan dua tahun berturut- turut. Maka, kekecewaannya agak menyurut.
Duh.. aku terharu juga atas sikap si sulung. Padahal, aku ingat sekali apa yang terjadi di ulang tahun ke-5 anak sulungku itu.
Ingatannya benar. Aku tak ada di rumah pada hari ulang tahun ke-5 si sulung, anakku yang perempuan tersebut, sebab aku harus pergi ke Singapore untuk urusan kantor. Saat itu, untuk menyenangkan hatinya, aku membungkus beberapa benda- benda kecil, pernak- pernik yang akan disukai oleh anak perempuan seusianya, sebagai kado ulang tahunnya. Aku berharap, dengan menerima beberapa buah kado itu, dia akan senang dan terhibur walau ibunya tak ada di rumah pada hari itu.
Yang terjadi?
Aku ingat sekali, kuhubungi anakku ini melalui telepon dari Singapore, untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan menanyakan apakah dia sudah membuka kado yang kutinggalkan dan apakah dia menyukainya.
Jawabannya diluar dugaanku. Katanya, “ Iya, aku sudah buka satu. “