Home is the nicest word there is ~ Laura Ingalls Wilder
BEBERAPA hari yang lalu aku membaca tulisan yang dibuat oleh mas Bain Saptaman. Mas Bain menuliskan tentang seorang Bapak yang berprofesi sebagai tukang cukur, yang membangun rumah untuk masing- masing anaknya yang berjumlah enam orang.
Tulisan mas Bain itu serta merta menghadirkan kenanganku tentang ayahku, suamiku, dan tentang rumah…
***
Beberapa kali sudah kutuliskan di blog ini tentang suamiku.
Lelaki yang kesederhanaan sikap, ketenangan, kecerdasan dan keluasan pandangannya dalam waktu tak lama setelah perkenalan kami dulu serta merta merebut hatiku.
Yang bahkan tak pernah bicara dengan cara yang melambung- lambung atau memberikan janji- janji muluk. Hal yang justru membuatku makin yakin untuk memilihnya menjadi suamiku.
Kesederhanaan itu dulu ditunjukkan dengan pemberian pertamanya padaku yang berupa buku second hand.
Iya, benar, buku second hand berjudul The Essential Hemingway yang konon dibelinya di pasar loak di kota tempatnya menempuh pendidikan pasca sarjana di Australia. Salah satu buku favoritnya, yang kemudian diberikannya padaku.
***
Tentu saja, seperti umumnya para gadis, di saat lajangku dulu, aku biasa menerima hadiah- hadiah kecil dan souvenir dari para teman lelakiku. Bentuknya beragam. Umumnya coklat, pernak- pernik kecil, T-shirt, juga puisi maupun cerpen yang (konon) dibuat karena penulisnya terinspirasi olehku (Ehm! Ha ha).
Maka, begitulah. Ketika aku lalu pada suatu hari menerima sebuah buku second hand yang sampulnya agak kusut dan bahkan diberikan tanpa bungkus sebagai hadiah pertama dari lelaki yang kini menjadi suamiku itu, aku sungguh tercengang. Dan.. begitu saja setelah itu hatiku meleleh, jatuh cinta padanya.
Bayangkan saja, ketika para pemuda lain memberikan hadiah- hadiahnya dalam kemasan yang sangat cantik, seringkali berpita, atau memberikannya dengan cara yang sangat romantis, lelaki yang satu ini memberikan buku second hand itu dengan cara yang sangat sederhana dan... begitu saja.
Tanpa bungkus, tanpa kata- kata yang berlebihan.
Membuatku terpesona dan jatuh cinta luar biasa padanya.
Aku dengan segera mengerti, lelaki seperti apa dia. Melihat jenis buku yang diberikan, cara dia memberikan buku itu, dan ke'nekad'an-nya memberikan buku second hand sebagai hadiah pertamanya bagiku, dalam sekejap aku memahami falsafah hidupnya, tentang sikapnya, tentang perilaku sederhana yang apa adanya yang sungguh membuatku terpikat luar biasa padanya..
Lalu suatu hari, lelaki itu berkata, " Beberapa bulan lagi saya lulus, " katanya, " Akan saya temui Bapak dan Ibu untuk meminta kamu buat jadi istri saya. "
Janji yang kuterima dengan senang hati…
***
To make a story short, rencananya untuk meminangku pada kedua orang tuaku selulus kuliah pasca sarjananya itu kusampaikan pada orang tuaku, yang menerima dengan tangan terbuka.
Lalu, ada pembicaraan tentang dimana kami akan tinggal setelah menikah nanti. Baik dengan (calon) suamiku itu, dan juga dengan kedua orang tuaku. Dan ketika itulah, ayahku berkata, “ D, coba lihat- lihat rumah yang cocok. Nanti Bapak belikan rumah itu buat kalian tempati setelah menikah.”
Aku sih setuju- setuju saja. Sudah sejak lama aku tahu bahwa salah satu keinginan ayahku adalah bisa membelikan rumah bagi kami anak- anaknya sebagai bekal kami saat kami menikah.
Lalu, dengan ringan kusampaikan tawaran itu pada (calon) suamiku, yang tanpa pernah kuduga…
Ternyata ditolak olehnya.
“ D, “ kata lelaki yang kelak menjadi suamiku itu, “ Tolong bilang terimakasih pada Bapak. Tapi tidak, saya tidak mau menerima pemberian itu. “
Oh, tidak?
Aku tercengang.
Ini sungguh diluar dugaanku.
Tapi walau jawaban itu tak terduga, kupahami alasannya. Pada intinya, (calon) suamiku itu mengatakan, dia ingin berdiri di atas kakinya sendiri. Rumah, menurutnya adalah tanggung jawab yang harus dipenuhinya sendiri. Tidak dengan bantuan orang lain, termasuk orang tuaku.
Baiklah, pikirku. Jika seperti itu sikapnya, aku sih sepakat saja.
Maka, aku bicara dengan kedua orang tuaku. Untunglah, orang tuaku menerima pendapat itu. Tak ada perdebatan sama sekali, mereka memahami pendirian lelaki calon suamiku itu.
Lalu kami menikah.
Satu tahun pertama dalam pernikahan kami, kami mengontrak rumah. Lalu tahun berikutnya, kami membeli rumah mungil yang menjadi rumah kami yang pertama. Kemudian, kelak sekian tahun berikutnya, tabungan kami cukup untuk membeli lahan yang akan bisa kami bangun menjadi rumah yang lebih luas dengan halaman yang luas pula.
Ketika pembicaraan tentang akan membangun rumah kedua itu terjadi, sekali lagi, ayahku yang mendengar rencana itu mengatakan, “Nanti Bapak kasih uang ya, buat tambah- tambah bangun rumahnya. “
Kali itu, suamiku tak mengatakan apa- apa. Tidak meng-iya, tidak pula menolak. Tapi, aku tahu, walau tak terucap, sebenarnya dia tetap lebih ingin rumah itu dibangun dengan upaya kami berdua suami istri saja, tanpa bantuan dari siapapun.
Dan Dia Yang Kuasa, Sang Maha Cinta, sepertinya kemudian turut campur dalam proses ini.
Saat kami membicarakan pembangunan rumah itu, ayahku memang memiliki simpanan uang yang memadai untuk diberikan pada kami saat kami membangun rumah kelak.
Kemudian ada beberapa hal yang terjadi yang menyebabkan rencana pembangunan rumah kami tertunda selama beberapa saat, dan pada saat bersamaan uang simpanan ayahku itu dipergunakan dulu untuk hal lain. Lalu yang kemudian terjadi adalah ketika akhirnya rumah kami itu dibangun, justru selama beberapa bulan saat dimulai hingga usainya pembangunan rumah, dana itu tak ada di tangan ayahku.
Anehnya.. segera setelah kami, aku dan suamiku, selesai membangun rumah kami yang kedua itu, rumah cukup luas dengan halaman luas yang kami tempati hingga saat ini, ayahku memiliki lagi di tangannya cukup dana sejumlah yang tadinya diniatkan untuk diberikan pada kami sebagai sumbangan saat kami membangun rumah. Tapi sumbangan itu tak lagi bisa diberikannya sebab rumah itu sudah usai dibangun.
Maka, niat baik ayahku (sampai hari ini aku tetap menganggap niat ayahku itu baik dan tulus), tak bisa terlaksana.
Ah.
Ini cerita yang selalu membuatku terharu.
Ada dua lelaki baik yang hadir dalam hidupku. Ayahku dan suamiku. Keduanya, dengan caranya sendiri- sendiri ingin sekali memiliki andil dalam menghadirkan rumah yang nyaman bagi keluarga kami.
Tapi yang satu ingin memberi, yang satu tak hendak menerimanya.
Dan seperti banyak jalan hidup yang tak perlu dipertanyakan, Sang Maha Cinta ternyata memilih pada siapa kesempatan membangun rumah bagi keluarga kami itu diberikannya.
Dia memberikan kesempatan itu sepenuhnya pada suamiku.
***
Duh, airmataku mengalir ketika menuliskan cerita ini kini
Aku mengagumi keteguhan hati suamiku yang menganggap bahwa membangun rumah adalah tanggung jawab yang harus dipenuhinya sendiri sebagai lelaki. Di pihak lain, aku berterimakasih atas pengertian orang tuaku, terutama almarhum ayahku, yang harus merelakan bahwa cita- cita lamanya untuk memberikan rumah bagiku akhirnya tak pernah tercapai.
Sungguh, betapa aku bersyukur dan berterimakasih bahwa begitu banyak cinta dan pengertian yang hadir di sekelilingku dari orang tua dan suami yang sama- sama sangat aku kasihi itu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H