Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Strategi Guru Ketika Menghadapi Murid yang Unik

24 September 2015   12:40 Diperbarui: 24 September 2015   21:40 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang- kadang, mengingat- ingat kelakuan anak- anak saat kecil itu terasa lucu sekali.

INI masih cerita tentang anak tengahku, anak unik yang saat kecil sering bikin guru-gurunya pusing tujuh keliling dan kami orang tuanya walau sebetulnya juga ketar-ketir, harus memutar otak mencari solusi.

Anak ini adalah ketua kampanye dengan tagline "sekolah itu tidak asyik" di rumah kami. Entah berapa kali dia mempertanyakan hal yang sama, kenapa sih orang harus sekolah. Boleh tidak dia tidak usah sekolah saja. Dsb dsb dsb.

Riwayat mogok sekolah sudah dimulai sejak dia batita di play group, dan baru selesai saat menjelang dia ujian SD.

Dan apakah setelah periode itu dia menikmati sekolah? Oh, ya tidak juga. Tapi at least, dia tidak mogok.

Perlu dicatat adalah salah satu faktor bahwa mengapa dia bisa 'terselamatkan', sebab dalam perjalanan pendidikannya, dia bertemu beberapa guru baik hati yang sangat memahami dan bersedia memberikan toleransi padanya.

Yang pertama adalah gurunya saat kelas 1 SD.

Guru kelas 1 SD-nya sangat terbuka dan memahaminya

Saat anakku ini mogok sekolah ketika duduk di kelas 1 SD, dan salah satu yang dikemukakan anakku adalah alasan "sekolahnya kelamaan", ibu guru itu mengijinkan anakku bersekolah dengan flexi time. Menentukan sendiri jam masuk dan jam pulang sekolahnya, asal dia bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sejumlah yang sama dengan teman- temannya.

Tentu saja, tak ada aturan tertulis di sekolah yang mengijinkan anak bersekolah dengan flexi time semacam ini. Ibu guru itu mengambil keputusan sendiri saja.

Anakku, begitu diberi tahu bahwa dia boleh datang dan pulang pada jam yang dia inginkan asal dia bisa menyelesaikan jumlah tugas sekolah yang sama dengan teman-temannya, mau bersekolah kembali.

Datang lebih lambat setengah jam dari teman- teman lain, dan pulang dua jam lebih cepat, praktis anakku ini hanya dua jam saja seharinya berada di sekolah, sementara teman- teman yang lain empat setengah jam. Gurunya menepati janji. Setiap kali dia sudah selesai menyelesaikan seluruh tugasnya untuk hari itu walau datang terlambat dan sebetulnya juga jam kepulangan sekolah masih lama, anakku diijinkan pulang.

Beberapa saat dia dibiarkan seperti itu. Lalu gurunya pelan-pelan mendekati dia, membujuk agar dia mau lagi bersekolah dengan jam sekolah normal, yang sama dengan teman-temannya. Kali ini bujukan gurunya adalah, kalau dia sudah selesai mengerjakan tugas sementara teman- temannya belum, dia boleh menggunakan sisi lain dari kertas tugasnya (bagian belakang yang kosong) untuk menggambar sambil menunggu teman lain selesai. Gurunya juga bilang, kalau dia ingin, tepi-tepi kertas bagian muka juga boleh dia gambari.

Anakku, kembali menerima tawaran itu dengan senang hati. Jadi jangan tanya bentuk kertas tugasnya. Penuh dengan gambar yang tak ada hubungannya dengan topik utama tugasnya. Ha ha.

Yang kedua, guru kelas 2 SD-nya.

Sepertinya, memang ada guru-guru yang jeli, yang entah bagaimana bisa melihat jauh daripada sekadar nilai yang dicapai anak.

Kami orang tuanya tak pernah meminta. Tapi ibu guru kelas dua ini, dengan anehnya (mengingat riwayat mogok sekolah anakku di kelas 1 SD dan peringkat di kelas 2 yang ada di nomor belasan) mati-matian bersikeras bicara dalam rapat guru menjelang test akselerasi bahwa dia meminta delapan orang di kelasnya yang diijinkan ikut test. Bukan enam.

Saat itu, aturan di sekolah hanya mengijinkan enam anak peringkat teratas untuk mengikuti test kelas akselerasi. Bu guru ini memberikan berbagai justifikasi bahwa dia ingin tambahan dua anak lagi dari kelasnya untuk diikutkan test. Satu adalah anakku, satu lagi seorang anak lelaki lain yang peringkatnya juga ada di angka belasan.

Jadi ibu guru ini benar-benar memilih. Bukan meminta delapan orang yang rangking satu sampai delapan tapi satu sampai enam seperti aturan sekolah dan dua yang dipilihnya sendiri. Konon saat rapat guru dia mengatakan kedua anak ini memiliki potensi besar, walau saat itu prestasi akademiknya tampak rata-rata saja.

Maka begitulah ceritanya kenapa anak tengahku yang suka mogok sekolah itu akhirnya masuk kelas akselerasi.

Yang ketiga, wali kelasnya setelah di kelas akselerasi (saat kelas 3,4,5 yang ditempuh dalam dua tahun).

Ibu guru ini sabar dan selalu bersedia menjadi mediator ketika anakku (lagi-lagi) mogok sekolah saat sudah masuk kelas akselerasi. Jika kami datang ke sekolah dan menunjukkan apa rekomendasi menurut psikolog yang bisa dilakukan untuk membantu anak kami agar dia tak lagi mogok sekolah, ibu guru ini selalu bersedia mendengarkan dan membantu kami untuk mewujudkan solusi yang disarankan psikolog itu. Kadang- kadang sebab keterbatasan disana-sini, tidak persis tapi solusi itu kami modifikasi sedikit. Lumayanlah, daripada tidak sama sekali.

Yang keempat, yang tak bisa tak disebutkan, adalah guru les musik anak-anak kami.

Walau dia sendiri sering tercengang-cengang, tapi dia sabar.

Saat itu, kedua anak tertuaku, si sulung dan anak nomor dua ini belajar main keyboard. Gurunya yang datang ke rumah seminggu sekali.

Berbeda dengan si sulung yang tertib, anakku yang nomor dua ini memang ada-ada aja.

Dia masih TK, usia lima tahun, ketika pertama kali diajari membaca not balok oleh guru musiknya ini. Dan alih-alih mau duduk di kursi, dia seringkali malah masuk ke kolong meja makan sambil main mobil-mobilan. Katanya pada guru musiknya, "Kakak ngomong aja di situ, aku dengerin. Di sini "

Dalam banyak waktu, anakku ini tetap tidak mau keluar dari kolong meja saat guru musiknya itu meminta dia mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pelajaran not balok itu di kertas. Katanya, "Sini kak, kertas dan pensilnya kirim ke kolong sini, aku kerjain di sini. "

Gurunya, tentu saja bicara padaku tentang hal itu. Aku, yang sudah tahu anakku ini memang yaaa begitulah itu, cuma nyengir dan bertanya, "Tapi dia mau ngerjain? Nggak mogok?"

Guru musiknya mengatakan tidak. Anakku tidak mogok, dan hasil pekerjaannya juga benar. Maka aku katakan, ya sudah, biar saja kalau begitu dia mengerjakannya di kolong meja, tak perlu dipaksa untuk duduk manis di kursi. 

Les musik ini berjalan beberapa tahun. Guru musiknya tak lagi heran dengan kelakuan nyeleneh anakku. Termasuk ketika pada suatu hari kedua anakku diminta tampil dalam sebuah konser musik.

Si sulung, rapi dan tertib seperti biasa. Dia berangkat dengan membawa buku musik dimana lagu yang akan dimainkannya ada di dalamnya.

Anak nomor dua ini, ketika diingatkan untuk membawa bukunya malah menjawab, "Nggak usah, buat apa?"

Nah, lho.

Jadilah akhirnya begitu, dia berangkat melenggang tak membawa apa- apa. Bikin deg-degan saja.

Di konser itu, si sulung, mudah diduga, memainkan lagu bagiannya dengan baik. Lalu, bagaimana dengan anak kedua ini?

Oh. Ha ha. Memang kadang-kadang, tingkah nyeleneh itu biarin aja deh. Anak seringkali bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri. Sebab anak keduaku ini, tanpa buku musik sama sekali di depannya, ternyata juga bisa memainkan lagunya dengan baik.

Guru musiknya sendiri menceritakan pada kami soal perlu atau tidaknya buku musik itu dibuka saat sedang memainkan sebuah lagu memang beberapa kali menjadi bahan perdebatan dengan anakku yang (ketika itu) berusia enam setengah tahun.

Guru musik itu awalnya meminta anakku untuk selalu menaruh buku musik dengan not balok lagu yang akan dimainkannya di atas keyboard. Anakku tidak mau dan mengatakan, buat apa, dia kan sudah hafal lagunya. Gurunya bilang, orang kan kadang-kadang bisa lupa. Anakku menjawab lagi tapi buktinya selama itu kan dia tidak lupa. 

Guru musiknya belum menyerah, mencari alasan lain, katanya tetap tidak apa-apa, buka saja bukunya, sekalian agar makin pintar baca not balok. Alasan yang mungkin dia ambil sebab sudah tak tahu lagi mesti menjawab apa pada anakku. Dan konon anakku menjawab begini, "Kak, aku itu bisa baca not balok, makanya aku bisa main lagu ini. Kalau aku nggak bisa not balok, aku kan ngga bisa main lagunya "

Ha ha. Habislah alasan yang bisa diberikan. Lalu, sekali lagi, sebab tak lagi bisa menemukan alasan lain yang masuk akal, bocah kecil itu dibiarkan saja menggunakan caranya sendiri. Begitu dia mempelajari sebuah lagu dan jika menurutnya sendiri dia sudah tak perlu lagi membuka bukunya, anak tengahku diijinkan untuk mengistirahatkan buku itu oleh gurunya.

Duh, ada- ada saja deh memang, anak yang satu ini. Bikin orang pusing saja. Ha ha.

p.s. Anak yang kuceritakan di atas itu kini adalah mahasiswa fakultas teknik di sebuah PTN terkemuka. Terima kasih banyak untuk para guru sabar dan baik hati yang telah bersedia memahami dan membantu anak tengah yang unik ini...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun