Tulisan ini dibuat untuk menyemangati para orang tua yang menghadapi anak- anak yang unik, agar mereka bisa berkembang baik sebab seringkali lingkungan yang mereka hadapi memberikan 'label' yang keliru pada mereka...
INI cerita tentang anak keduaku. Anak tengah dalam keluarga.
Anak yang kerap kali membuat jantungku berdegup kencang. Anak yang banyak membuat kami tercengang, atas tingkah laku dan reaksi- reaksinya yang tak terduga.
Anak yang membuat seorang psikolog di awal masa SD-nya terdiam lamaaa saat kumintai pendapat, mana yang lebih baik baginya, masuk kelas akselerasikah, atau tetap di kelas reguler saja? Dan psikolog itu harus menimbang- nimbang lama sebab menurutnya kedua pilihan itu memiliki resiko yang sama besarnya untuk anakku ini.
Maju kena. Mundur kena.
Aduh !
***
Emangnya kenapa siihhhh dengan dia, si anak tengah ini?
Anak tengahku ini kecerdasannya luar biasa (hasil test psikologi menunjukkan bahwa IQ-nya bahkan jauh di atas kakaknya) tapi kemampuan sosial dan kekuatan mentalnya jadi tidak sebanding dengan intelegensi yang melesat jauh beberapa tingkat di atas anak seumurnya itu.
Intelegensia yang sangat tinggi berpadu pada kemampuan sosial dan kekuatan mental yang bahkan konon sedikit di bawah rata-rata itu menimbulkan ketidak seimbangan pada dirinya.
Akibatnya, dia kesulitan menyesuaikan diri di sekolah. Dan tidak bisa berprestasi secara akademik sampai tingkat yang cemerlang, secemerlang apa yang dimungkinkan oleh intelegensinya.
Dia bingung mendadapi dunia, dan memiliki riwayat panjang mogok sekolah sejak usia batita di play group sampai saat menjelang ujian SD, padahal dia ada di kelas akselerasi.
Bayangkan, dimana sih ada anak kelas akselerasi yang kerap mogok sekolah seperti dia?
Dan kami memang tak bisa mengharapkan semua orang, termasuk guru- guru memahami tingkah lakunya.
Sebagian guru di SD-nya memberikan semangat. Sebagian mencibir. Guru SMP-nya (di sebuah sekolah yang memang metode belajarnya ditujukan untuk mengembangkan semua aspek dalam diri anak, bukan semata akademis) memahami. Guru SMA-nya.. ha ha.. Â bahkan saat dia kelas 1 SMA saja, aku pernah 'diomeli' oleh wali kelasnya karena menurut wali kelasnya, nilai yang dia dapat itu 'kurang' dan harus lebih ditingkatkan lagi.
Memangnya dia seburuk itu, prestasinya?
Oh tidak. Dalam ukuran normal, jika kita membicarakan skala 1-100, prestasi akademiknya cukup baik.Â
Untuk memberikan gambaran saja, nilai raport SMA kelas 1 yang membuat aku harus menegakkan kepala, tersenyum, berusaha berlagak biasa- biasa saja menelan 'penghinaan' diomeli dengan suara keras oleh ibu wali kelas di depan begitu banyak orang tua lain yang juga akan mengambil raport itu adalah raport dengan nilai rata- rata di atas di atas 80.
Nilai- nilai yang membuat aku diomeli wali kelasnya itu jauh dari buruk. Tapi tak cukup cemerlang rupanya untuk bisa dihargai oleh ibu wali kelas yang sepertinya luput menyadari bahwa bagi anakku, bahkan pencapaian seperti yang dicapainya saat kelas 1 SMA itu merupakan suatu proses panjaaangggg yang sudah menunjukkan peningkatan dari banyak hal.
Kupahami apa pasalnya, dan dimana 'korslet'-nya. Anakku si anak tengah itu, seperti juga kakaknya, bersekolah di sebuah SMA Negeri yang konon SMA Negeri terbaik di kota kami,  dimana satu- satunya ukuran penghargaan adalah berupa nilai absolut, dan ranking keberapa dia di kelas. Tempat dimana yang dilihat adalah hasil akhir. Bukan proses(-nya) lagi.
Aku sadar sesadar- sadarnya, mengapa ibu wali kelas itu mengatakan hal serupa itu. Sebab ukuran 'sukses' bagi alumni sekolah itu adalah nilai ujian Nasional yang tinggi dan ujungnya adalah jumlah serta prosentase alumni yang diterima di perguruan tinggi negeri peringkat paling atas.
Hal yang menurutku, kombinasi antara 'realistis' sekaligus absurd.
Aku pahami, aku pahami semua ukuran itu. Kupahami sudut pandang itu.
Tapi... ukuran itu bisa diberlakukan bagi anak- anak yang... well... katakanlah, seperti anak sulungku itu, yang prestasinya stabil dan cemerlang sebab semua komponen kecerdasan, kegigihan, kestabilan ada di dalam dirinya untuk mendukung pencapaian semacam itu.
Namun tak akan mudah bagi anak- anak yang tingkah lakunya unik seperti anak tengah yang kuceritakan ini.
Yang bahkan saat TK sempat membuat guru- gurunya panik sebab bersikeras tak mau mengisi bagiannya untuk buku tahunan dan bicara di video kenangan TK jika tak diijinkan untuk mengatakan "tukang parkir" sebagai cita- citanya sementara teman- teman lain memilih insinyur, pilot, astronot, pianis dan beragam cita- cita hebat lainnya.
Bu guru TK juga mengatakan pada anak kami, " Nanti ibu-bapaknya malu, kalau dibilang cita- citanya jadi tukang parkir itu... "
Ahahahaha. Sekali lagi, kami memahami apa yang ada dalam pikiran para ibu guru TK yang baik hati itu. Tapi jawaban kami lugas saat kami dihubungi, " Tak apa, biarkan saja dia katakan apapun yang dia inginkan di buku dan video tahunan TK, termasuk jika dia bilang ingin jadi tukang parkir..."
Sejujurnya, saat itu kami sendiri lebih menganggap hal tersebut sebagai lucu daripada 'memalukan' seperti yang dikhawatirkan para ibu guru.
Tapi, diomeli dengan suara keras saat mengambil raport anak yang sama saat SMA memang tidak lagi termasuk lucu, he he.
Betapapun, omelan itu sungguh membuatku tersadar bahwa apa yang dikatakan psikolog yang pernah kami mintai pendapatnya saat anak kami ini duduk di bangku SD (dan kerap mogok sekolah) bertahun yang lalu ternyata benar.
Perkembangan anak ini, akan sangat tergantung pada sikap kami orang tuanya. Apakah dengan segala keunikannya itu dia akan bisa mencapai prestasi terbaiknya atau akan jatuh terpuruk, akan sangat tergantung pada kami orang tuanya. Sebab secara umum, lingkungan, termasuk sekolah dan mayoritas guru- guru, hanya akan melihat permukaan saja. Tidak sempat masuk lebih dalam lagi.
Psikolog  itu mengatakan begini, " Tak ada yang salah dengan anak ini. Dan tak ada yang bisa (atau perlu) dilakukan (secara khusus). Hanya orang tuanya saja yang harus sabar menghadapi dan menjalani prosesnya. Suatu saat nanti, dia akan mencapai titik keseimbangannya dan saat itulah prestasinya akan sebanding dengan kapasitas yang dimilikinya."
Aku senang mendengar apa yang dikatakan ibu psikolog yang cantik itu, walau... apa yang selanjutnya diterangkan membuat aku sejujurnya agak gamang. Sebab begini, statement seperti yang dinyatakannya diatas kujawab dengan pertanyaan ini, " Dan kapan keseimbangan itu akan terjadi ? "
Jawabannya, " Tidak bisa dipastikan. Itu unik untuk tiap- tiap individu. Bisa minggu depan, bisa bulan depan, bisa bertahun- tahun lagi."
Aku bertanya lagi, " Artinya bisa saja dia masih mogok sekolah saat dia SMP... Atau SMA ? "
Ibu psikolog itu mengangguk, " Iya, bisa. Makanya, orang tuanya yang harus sabar... "
O-oooo...
Saat itulah, saat kami keluar meninggalkan ruangan psikolog yang mengevaluasi anakku bertahun lalu ketika dia masih duduk di kelas 5 SD (di kelas akselerasi yang dilaluinya dengan cara kadang sekolah, sering mogok, kadang semangat sering diiringi pertanyaan buat apa sekolah dan apakah boleh jika dia tak usah sekolah saja), saat itulah aku bertekad dalam hati: mari anakku sayang, mari kita lalui hari- hari kedepan bersama- sama.
Mari kita tapaki tangga itu satu persatu. Mungkin perlahan, mungkin lambat, tapi pada suatu saat, mari kita capai prestasi terbaikmu. Suatu saat, kita akan bisa tersenyum bersama- sama, melihatmu melangkah tegak menghadapi dunia.
Kupahami, yang dibutuhkannya adalah dukungan dan rasa aman saat menjalani proses yang panjang itu...Â
***
Aku tahu, bahkan saat inipun dia belum mencapai titik prestasi terbaiknya.Dia masih akan terus harus berkembang. Tapi aku gembira melihat bahwa saat ini dia sudah tumbuh menjadi seorang remaja yang jauh lebih ajeg dan kuat untuk bisa mengatasi beragam tantangan yang harus dihadapinya...Â
p.s. bagian 1 dari rangkaian tulisan ini ada disini:Â http://www.kompasiana.com/rumahkayu/jangan-menyerah-proses-panjang-membesarkan-anak-unik-1_55f509795993731c052e5167
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H