Maka ibu mengantar yang satu, ayah mengantar yang lain.
Rencana dibuat. Tahu sendiri Jakarta di pagi hari, macet dimana- mana. Mereka merancang di pagi hari saat test itu akan berangkat jam berapa, lewat mana, agar tak terjebak macet yang akan menyebabkan anaknya tiba terlambat di tempat testing.
Tapi lalu lintas Jakarta sekarang memang sulit diprediksi. Rencana tinggal rencana, pagi itu masih berjarak 1 KM jauhnya dari lokasi testing jalan yang dilalui ayah dan anak ternyata macet sementara waktu test sudah mepet. Temanku akhirnya meminta sang anak turun dari mobil dan mencari ojek saja, melanjutkan perjalanan dengan ojek sampai ke tempat test agar tak terlambat.
Namun di tengah kemacetan itu, mencari ojeg juga bukan perkara mudah. Sang anak tak langsung mendapatkan ojeg tapi harus berjalan kaki agak jauh sampai (akhirnya) bertemu juga dengan ojeg yang membawanya meluncur ke tempat testing.
Anak kawanku terselamatkan. Di menit- menit terakhir menjelang bel tanda test akan dimulai, dia tiba di lokasi testing. Duh, lega deh...
***
Kehebohan yang terjadi bukan hanya tentang kemacetan.
Ada cerita lain juga. Seorang kawan yang lain mengantarkan anaknya untuk ikut seleksi mandiri di sebuah Universitas. Sebab jauh dan jalanan juga macet, dia yang tadinya berniat akan mengantar dan menjemput kembali anaknya seusai test merubah rencana. Dia tidak pulang tapi menunggui anaknya di lokasi testing.
Sang anak mendapat tempat di lantai dua sebuah gedung di universitas tersebut, sementara ayahnya duduk menanti di bangku taman di universitas itu.
Dan ketika sedang duduk- duduk itulah, sang ayah menerima SMS yang agak terlambat dia baca. SMS dari anaknya, bahwa... sang anak terkunci di toilet!
Waduh.