Ketika Kenanga yang selalu ceria dan menghadapi dunia dengan cara seakan dunia hanya berisi kegembiraan, bintang- bintang, laut, peri serta para bidadari tiba- tiba jatuh begitu dalam.
Terkapar.
Terluka.
Berdarah.
Dan entah berapa banyak air mata tumpah.
Walau Kenanga berusaha menyembunyikan semua itu dari orang- orang di sekitarnya.
Walau dia membungkusnya dengan cara tertawa paling keras jika mendengar lelucon yang dilontarkan seseorang. Betapapun tak lucunya lelucon itu.
Walau dia mengalihkan semua kepahitan dan energi penuh kemarahan dan keputus asaannya pada pekerjaan. Yang mengakibatkannya justru tampil menjadi bintang dan menyabet begitu banyak penghargaan karena hasil kerjanya yang cemerlang.
Walau seperti tak ada yang berubah. Kecintaannya pada laut, pada gemintang, pada puisi, tetap ada saat itu.
Hanya di depan beberapa orang, termasuk Dee, Kenanga bisa terbuka. Menceritakan semuanya. Menumpahkan tangisnya. Dee tahu betul, ‘beberapa orang’ itu bahkan tak akan menghabiskan seluruh jari dalam sebelah tangan jika dihitung, saking sedikitnya.
Kenanga menutup semua kenangan itu rapat- rapat. Dia berbalik badan, dan pergi tanpa mau menoleh lagi.