Maka, berderinglah telepon di rumah kami suatu hari.
Kepala Sekolah TK menceritakan situasi tersebut padaku yang mengangkat telepon. Cerita yang membuatku tertawa tergelak- gelak.
" Ya sudah Bu, " kukatakan disela tawaku, " Biar saja dia bilang dia ingin jadi tukang parkir... "
Jeda beberapa detik.
" Nggak apa- apa dia mengatakan begitu? " tanya ibu Kepala Sekolah itu sambil mengingatkan aku bahwa hasil rekaman itu akan dibagikan dalam bentuk CD dan diputar di depan semua murid dan orang tua dalam acara perpisahan. Cita- cita itu juga akan tertulis dalam buku tahunan TK yang dibagikan pada semua murid.
" Tidak apa- apa, biar saja dia bilang begitu, " kataku.
Begitu telepon kututup, kuceritakan pada suamiku apa yang terjadi. Suamiku juga tergelak dan berkata, " Biar aja, nggak apa- apa... "
Kami berdua memahami apa yang ada di kepala perjaka cilik anak kami itu. Dia sedang senang sekali main peluit. Dan menurutnya ketika itu, jadi tukang parkir itu enak, sebab bisa main peluit sepanjang hari, dan dapat uang pula setelah itu. Ha ha ha.
Kami sendiri menganggap itu lucu. Tapi rupanya tidak semua berpendapat begitu. Sebab setelah peristiwa itu, setiap kali aku ke sekolah anakku, ada saja orang tua yang menanyakan atau mengomentari urusan anakku dan cita- cita menjadi tukang parkirnya itu.
Pertanyaan- pertanyaan dan komentar yang biasanya kujawab dengan tawa lebar saja...
***