Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Humor

Uniknya Anak-anak: Aku Mau Jadi Tukang Parkir

6 Juni 2013   17:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:26 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13705158401508386427

Suatu hari di sebuah Sekolah Dasar...

KAMI, para orang tua murid kelas dua SD yang anak- anaknya mengikuti seleksi untuk masuk ke kelas akselerasi diminta hadir untuk menerima hasil test psikologi dan ketetapan masuk tidaknya anak kami ke kelas akselerasi.

Ini kali kedua untuk peristiwa yang sama bagiku. Aku hadir di sekolah sebab anak kedua kami, anak tengah dalam keluarga kami mengikuti seleksi. Sebelumnya, si sulung pernah mengikuti test yang sama.

Tak banyak keraguan saat si sulung mengatakan ingin mendaftarkan diri untuk masuk kelas akselerasi. Anak perempuan sulung kami itu sangat ajeg, tahu apa yang dia mau, disiplin, dengan pemikiran yang jauh ke depan.

Nilai- nilai akademiknya cemerlang. Dia favorit guru- guru.

Hobbynya membaca. Saat kelas 3 SD dia sudah mulai membaca buku- buku yang ditulis oleh YB Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Umar Kayam dan semacamnya. Dia manis dan tak banyak bergejolak. Tentu saja, mogok sekolah tak ada dalam kamusnya. Sekolah, adakalanya juga menyebalkan buat dia. Tapi kegigihan yang dimilikinya membantu dia untuk mengatasi semua.

Maka, dulu kami tak terlalu terkejut saat melihat hasil test psikologinya. Semua stabil. Kemampuan intelektual dan sosialnya seimbang. IQ-nya yang 141 jauh di atas rata- rata. Dia jelas calon potensial untuk masuk kelas akselerasi.

Tapi adiknya...

Adiknya, anak lelaki tengah kami itu membingungkan.

Sebenarnya, dari dia berusia sekitar dua tahun dan mulai banyak bicara, sudah kuidentifikasi bahwa anak kedua kami itu sangat cerdas. Dari cara bicaranya bisa kuukur kecerdasannya. Dugaanku, dia bahkan lebih cerdas dari kakaknya.

Gurauan anak kedua kami ini bisa membuat kami terpingkal- pingkal walau kuduga, belum tentu begitu jika anak kecil lain yang mendengarnya. Sebab, dia tidak bicara A. B, C, D.. Dia bisa saja mengatakan A, B lalu melompat ke T sebagai kesimpulan.

Aku sungguh ingin tahu secemerlang apa dia di sekolah nanti.

Dan...

Begitulah.

Dia masuk play group. Awalnya, di kelas seorang guru yang sabar dan jelas mencintai anak- anak, dia tenang- tenang saja.

Masalah baru muncul ketika guru tersebut diminta mengajar kelas yang lebih tinggi dan gurunya diganti. Guru barunya ini rupanya tak cocok di hati. Dan mogoklah anakku. Tak terbujuk. Dia tidak mau sekolah lagi di situ sampai akhir masa tahun pelajaran yang berakhir dua bulan kemudian.

[caption id="attachment_258419" align="aligncenter" width="268" caption="Gambar: www.wholesalecentral.com"][/caption]

Lalu, dia masuk TK. Tak ada acara mogok sekolah di TK ini. Hanya saja saat menjelang tutup tahun di TK B, dia membuat kehebohan ketika para ibu dari Persatuan Orang Tua Murid dan Guru hendak membuat acara perpisahan dan merekam anak- anak dalam video.

Setiap anak diminta menyebutkan nama dan data diri, lalu juga cita- cita. Anakku mengatakan bahwa cita- citanya adalah menjadi tukang parkir.

Dan gegerlah para guru dan orang tua yang menjadi panitia. Anakku dibujuk- bujuk untuk mengatakan sesuatu yang lebih 'berkelas' sebagai cita- citanya.

" Nanti Bapak dan Ibu malu, lho, kalau anaknya bilang gitu di video, " seorang gurunya mengatakan begitu pada dia.

Anakku bersikeras. Dia hanya mau direkam video jika diijinkan mengatakan bahwa cita- citanya adalah menjadi tukang parkir. Kalau tidak boleh, ya tidak usah direkam saja, katanya.

Maka, berderinglah telepon di rumah kami suatu hari.

Kepala Sekolah TK menceritakan situasi tersebut padaku yang mengangkat telepon. Cerita yang membuatku tertawa tergelak- gelak.

" Ya sudah Bu, " kukatakan disela tawaku, " Biar saja dia bilang dia ingin jadi tukang parkir... "

Jeda beberapa detik.

" Nggak apa- apa dia mengatakan begitu? " tanya ibu Kepala Sekolah itu sambil mengingatkan aku bahwa hasil rekaman itu akan dibagikan dalam bentuk CD dan diputar di depan semua murid dan orang tua dalam acara perpisahan. Cita- cita itu juga akan tertulis dalam buku tahunan TK yang dibagikan pada semua murid.

" Tidak apa- apa, biar saja dia bilang begitu, " kataku.

Begitu telepon kututup, kuceritakan pada suamiku apa yang terjadi. Suamiku juga tergelak dan berkata, " Biar aja, nggak apa- apa... "

Kami berdua memahami apa yang ada di kepala perjaka cilik anak kami itu. Dia sedang senang sekali main peluit. Dan menurutnya ketika itu, jadi tukang parkir itu enak, sebab bisa main peluit sepanjang hari, dan dapat uang pula setelah itu. Ha ha ha.

Kami sendiri menganggap itu lucu. Tapi rupanya tidak semua berpendapat begitu. Sebab setelah peristiwa itu, setiap kali aku ke sekolah anakku, ada saja orang tua yang menanyakan atau mengomentari urusan anakku dan cita- cita menjadi tukang parkirnya itu.

Pertanyaan- pertanyaan dan komentar yang biasanya kujawab dengan tawa lebar saja...

***

Hari itu, aku datang sendiri memenuhi undangan dari sekolah. Suamiku kebetulan tak dapat hadir.

Kubuka perlahan amplop hasil pemeriksaan psikologi yang dibagikan pada setiap orang tua.

Kuintip sedikit bagian kesimpulan dan angka IQ yang tertulis disitu.

Aku tercengang.

Salah lihat barangkali aku, ya?

Kubaca lagi angka itu.

Tak berubah.

Para orang tua di sekitarku mulai saling mengomentari dan bertanya pada sebelah- menyebelah tentang hasil test psikologi yang baru dibagikan, disusul dengan pertanyaan " Masuk (kelas akselerasi) nggak, anaknya? "

Aku sendiri masih terbingung- bingung.

Pada dasarnya, aku ini bukan orang tua yang terlalu senang membandingkan anaknya dengan anak- anak lain. Jika ada pembanding, yang biasa kulakukan adalah membandingkan anakku dengan dirinya sendiri di masa sebelumnya. Jika dia menunjukkan kemajuan, maka itu bagus sekali. Sesederhana itu.

Aduh, kenapa juga suamiku tidak bisa hadir ya, pikirku. Dalam situasi seperti itu, hanya ayah anak- anakku itu yang kuinginkan menjadi teman bicara.

Di sebelahku, seorang ibu terkejut saat membaca hasil test anaknya. " Nggak mungkin, " katanya, " Kenapa anak saya nggak bisa masuk kelas akserasi? Dia kan selalu dapat ranking bagus. Kalau nggak nomor satu, ya nomor dua di kelas..."

Aku diam tak berkomentar.

" Anaknya masuk, bu? " kata ibu- ibu yang anaknya walau juara kelas tak disarankan oleh psikolog untuk masuk kelas akselerasi itu padaku. Belum lagi kujawab, dia bertanya, " Ibu anaknya juara terus ya? Berapa IQ-nya ? "

Kulirik pintu kelas. Mencari cara untuk bergeser dan menjauh dari ibu- ibu tersebut. Sebab aku sungguh tak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaannya tanpa membulkan beribu pertanyaan lain, atau mungkin bahkan kegemparan...

p.s. (masih) bersambung lagi yaaa...

** Artikel sebelumnya: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/06/uniknya-anak-anak-kelas-akselerasi--566166.html

http://edukasi.kompasiana.com/2013/06/06/uniknya-anak-anak-anak-cerdas-lomba-dan-mental-juara-566235.html

** Artikel selanjutnya: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/06/uniknya-anak-anak-iq-dan-peringkat-di-kelas-tak-selalu-berbanding-lurus-566346.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun