Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salah Urus KRL Jabodetabek yang Menimbulkan Keresahan dan Kerusuhan

28 Februari 2013   17:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:32 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menyerah. Tak sanggup lagi. Kuputuskan mencari jalan sendiri. Kendati (sebenarnya) masih cinta...

Apa ini? Perceraian?

Ya.

Hubungan yang telah terjalin lama dan manis ternyata harus dihentikan. Aku tak tahan lagi.

Oh tapi sebentar. Ini bukan soal asmara. Bukan juga tentang rumah tangga.

Ini urusan transportasi.

Tentang KRL !

***

Bibit frustrasi terhadap KRL Jabodetabek sebetulnya telah kurasakan sejak manajemen PT. KAI memutuskan untuk memberlakukan single operation pada bulan Juli 2011.

Secara sederhana, Single Operation atau sistem operasi tunggal bagi Commuter Line merupakan penataan ulang perjalanan KRL, kereta listrik yang merupakan jenis transportasi populer bagi banyak orang yang bertempat tinggal di area Jabodetabek.

Sebelum operasi tunggal diberlakukan, terdapat 3 macam KRL yang dioperasikan, yaitu KRL Ekonomi, KRL Ekonomi AC dan KRL Ekspres. Tarif untuk ketiga macam kereta ini berbeda. Dan dengan jarak tempuh yang sama, waktu tempuhnya juga berbeda.

Ambillah kereta jurusan Bogor dan Jakarta atau sebaliknya. Kereta dengan waktu tempuh tercepat adalah KRL Ekspres. Jika KRL Ekonomi dan KRL Ekonomi AC menempuh jarak Bogor-Jakarta atau sebaliknya dalam waktu sekitar 90 menit, KRL Ekspres menempuh jarak yang sama dengan waktu tempuh sekitar 55 menit.

Dengan pola operasi tunggal, tak ada lagi KRL Ekspres yang hanya berhenti di beberapa stasiun tertentu. Dengan sistem operasi tunggal ini, semua KRL baik KRL ekonomi maupun KRL yang bertarif lebih mahal yang disebut dengan Commuter Line ini akan berhenti di semua stasiun yang dilalui dalam perjalanan.

Moda operasi ini mungkin lebih sederhana bagi operator kereta. Sebab tak perlu lagi melihat kereta mana yang harus didahulukan. Semua antri.

Tapi yang sederhana bagi operator kereta itu sungguh menyebalkan bagi penumpang, sebetulnya. Sebab PT. KAI pada dasarnya memaksa konsumennya menelan satu-satunya jenis operasi yang disediakannya untuk layanan KRL. Menghilangkan hak konsumen untuk memilih seperti yang pernah ada dulu.

Beragam kampanye, publikasi, siaran pers dilakukan PT. KAI untuk mensosialisasikan keputusan mereka ini. Namun mudah diduga, kampanye dan janji- janji mereka merupakan omong kosong belaka.

Jangan bicara tentang empat pilar yang sebenarnya dituliskan dalam misi PT.KAI yaitu keselamatan, ketepatan waktu, pelayanan dan kenyamanan. Sebab membicarakan keempat pilar utama dalam misi KAI itu sungguh akan tampak seperti lawakan yang tak lucu, karena di mata kebanyakan penumpang KRL, tak satupun dari keempat komponen itu nampak dalam keseharian.

Penumpang setia KRL tahu bahwa ketepatan waktu, keselamatan, kenyamanan, pelayanan yang baik dan fokus pada pelanggan adalah hal terakhir yang bisa diperoleh dari PT. KAI.

Bahkan ketika KRL Ekspres masih dioperasikan, sebenarnya jenis KRL eksprespun sudah tidak nyaman.

Dan mengapa KRL itu masih juga dipenuhi begitu banyak penumpang jika pelayanan dan kenyamanan tak dapat diperoleh?

Ini jawabnya: sebab paling sedikit, dengan begitu banyak kekurangannya, kereta ekspres ini memenuhi kebutuhan penumpang untuk dapat mencapai tempat kerjanya dengan cepat di pagi hari, begitu pula pada perjalanan pulang di sore harinya.

Pilihan untuk menggunakan KRL Ekspres bagi banyak orang yang sebenarnya mungkin memiliki kendaraan pribadi merupakan pilihan yang rasional. Jika yang dibutuhkan memang sekedar alat transportasi untuk menuju ke tempat kerja dan pulang tanpa harus terjebak kemacetan di jalan, KRL Ekspres inilah pilihannya.

55 menit waktu tempuh antara stasiun Bogor Jakarta Kota atau Stasiun Bogor- Sudirman yang letaknya sudah dekat dengan area perkantoran dimana penumpang bekerja adalah pilihan yang baik bagi banyak orang.

***


[caption id="attachment_239391" align="aligncenter" width="460" caption="Gambar: www.republika.co.id"][/caption]

Sebelum moda operasi KRL diputuskan menjadi sistem operasi tunggal, dilakukan uji coba beberapa kali. Hasilnya? Begitu banyak keluhan, komentar negatif sampai yang bernada kasar dan sarkastis dari para penumpang KRL baik di media cetak, maupun di media sosial tentang hal ini.

Tapi, bisa diduga, keluhan itu diabaikan oleh PT. KAI.

Perbedaan paling terasa memang dirasakan penumpang kereta Ekspres. Dengan diterapkannya Single Operation bagi Commuter Line ini, perjalanan menjadi sangat tidak nyaman sebab kereta menjadi penuh sesak dan waktu tempuh lebih lama. Ini adalah efek langsung yang timbul karena mayoritas penumpang yang tadinya terbagi dalam 3 segmen kini terkumpul dalam Commuter Line itu serta berhentinya kereta di semua setasiun.

Yang mengherankan, Direksi PT. KAI ternyta ketika itu justru mengclaim bahwa uji coba Commuter Line berjalan lancar dan sukses.

Rupanya, masukan tentang betapa penumpang berdesakan seperti ikan sarden, gepeng menjadi dendeng, bagaimana AC di dalam kereta tidak berfungsi, pintu kereta tak bisa ditutup dan penumpang bergelantungan sebab jumlah penumpang melebihi kapasitas kereta api, dan pertanyaan mengenai keamanan penumpang ( menyangkut copet, jambret dan pelecehan seksual bagi para penumpang perempuan di dalam kereta ) diabaikan begitu saja oleh mereka.

Uji coba lancar dan sukses, katanya?

Jawabannya ternyata dapat ditemukan dalam artikel yang dimuat di Harian Republika kala itu. Ketika penumpang memandang uji coba tersebut sebagai kegagalan, ricuh, merugikan penumpang, dan sebagainya, Direksi PT. KAI menyatakan uji cobanya sebagai lancar dan sukses, sebab mereka ternyata melakukan uji coba dengan menaiki KRL Commuter Line ini dari stasiun Bogor ke Cilebut dan ke arah sebaliknya, dari Cilebut ke Bogor.

Oh, asal tahu saja stasiun Cilebut adalah stasiun terdekat dari Bogor, dan waktu tempuh antara stasiun Bogor dan Cilebut adalah 5 menit.

Jika para Direksi ini menaiki KRL Commuter Line hanya ke satu stasiun terdekat dengan waktu tempuh 5 menit, dapat dipahami mengapa mereka mengambil kesimpulan yang berbeda dengan penumpang yang harus tergencet dalam kereta selama 90 menit dan mengalami kelelahan serta kehilangan begitu banyak waktu di jalan sebab waktu tempuh bertambah 30 menit untuk satu kali perjalanan.

Terlebih lagi, para penumpang ini adalah penumpang yang naik KRL setiap hari, dua kali sehari, bukan hanya sekali seperti para direksi itu.

***

Kini, sudah lebih dari setahun moda operasi tunggal itu diberlakukan. Alih- alih membaik, pelayanan malah semakin buruk. Ini diperparah lagi dengan keputusan untuk membuat rute melingkar bagi KRL. Sebab perjalanan KRL menjadi terpenggal- penggal. Penumpang harus naik turun kereta di beberapa stasiun untuk menyambung perjalanan.

Lagi- lagi, sebelumnya memang ada janji- janji dari PT. KAI baik mengenai ketepatan waktu maupun ketersediaan semacam feeder bagi para penumpang yang jalur perjalanannya terpenggal.

Faktanya? Feeder khusus sangat sedikit jumlahnya. Akibatnya, penumpang harus berebutan menaiki KRL lain yang menuju tempat tujuan utama mereka.

Ketepatan waktu? Nol besar.

Keamanan? Oh, kini bahkan kereta yang disebut Commuter Line itu seringkali dioperasikan dengan pintu yang terbuka. Mengerikan.

Entah, apakah para petinggi PT. KAI menyadari bahwa kini penumpang KRL menjadi beringas dan mudah marah sebab kelelahan sungguh mendera? Lihatlah bagaimana penumpang saling memaki di KRL Commuter Line yang penuh sesak itu setiap hari.

Dan semua masalah itu belum dituntaskan, PT. KAI kini mengurangi KRL Ekonomi. Memaksa semua penumpangnya (lagi- lagi) tak punya pilihan, sebab mereka segera hanya akan menyediakan KRL Commuter Line saja.

Kekuatiran dengan segera mendera para penumpang KRL Ekonomi yang memang berkantung pas- pasan.

Lalu, malam kemarin, di Stasiun Depok Lama terjadi perdebatan antara penumpang KRL Ekonomi dengan para petugas ( Brimob/ Marinir ) yang berujung pada diletuskannya tembakan oleh petugas.

Letusan itu membobol pertahanan para penumpang yang selama ini sudah sangat kesal dan resah tentang KRL.

Dan... kerusuhanpun terjadi.

Aku berada disana. Terjebak di tengah- tengah chaos itu. Diantara orang- orang yang berlarian, batu yang beterbangan, dan suara pecahan kaca serta letusan tembakan.

***

Aku menyerah, sungguh.

Aku akan segera mengucapkan selamat tinggal pada KRL. Mencari jalanku sendiri, menggunakan jenis transportasi lain. Terjebak diantara kerusuhan dengan resiko terlempar batu atau terkena peluru nyasar sungguh bukan resiko yang bersedia kutanggung.

Dan sewajarnya, memang tak seharusnya resiko itu ada ketika seseorang memilih untuk naik KRL.

Ah, andai saja PT. KAI lebih memahami penumpangnya, sebenarnya kerusuhan kemarin itu tak perlu terjadi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun