Jika para Direksi ini menaiki KRL Commuter Line hanya ke satu stasiun terdekat dengan waktu tempuh 5 menit, dapat dipahami mengapa mereka mengambil kesimpulan yang berbeda dengan penumpang yang harus tergencet dalam kereta selama 90 menit dan mengalami kelelahan serta kehilangan begitu banyak waktu di jalan sebab waktu tempuh bertambah 30 menit untuk satu kali perjalanan.
Terlebih lagi, para penumpang ini adalah penumpang yang naik KRL setiap hari, dua kali sehari, bukan hanya sekali seperti para direksi itu.
***
Kini, sudah lebih dari setahun moda operasi tunggal itu diberlakukan. Alih- alih membaik, pelayanan malah semakin buruk. Ini diperparah lagi dengan keputusan untuk membuat rute melingkar bagi KRL. Sebab perjalanan KRL menjadi terpenggal- penggal. Penumpang harus naik turun kereta di beberapa stasiun untuk menyambung perjalanan.
Lagi- lagi, sebelumnya memang ada janji- janji dari PT. KAI baik mengenai ketepatan waktu maupun ketersediaan semacam feeder bagi para penumpang yang jalur perjalanannya terpenggal.
Faktanya? Feeder khusus sangat sedikit jumlahnya. Akibatnya, penumpang harus berebutan menaiki KRL lain yang menuju tempat tujuan utama mereka.
Ketepatan waktu? Nol besar.
Keamanan? Oh, kini bahkan kereta yang disebut Commuter Line itu seringkali dioperasikan dengan pintu yang terbuka. Mengerikan.
Entah, apakah para petinggi PT. KAI menyadari bahwa kini penumpang KRL menjadi beringas dan mudah marah sebab kelelahan sungguh mendera? Lihatlah bagaimana penumpang saling memaki di KRL Commuter Line yang penuh sesak itu setiap hari.
Dan semua masalah itu belum dituntaskan, PT. KAI kini mengurangi KRL Ekonomi. Memaksa semua penumpangnya (lagi- lagi) tak punya pilihan, sebab mereka segera hanya akan menyediakan KRL Commuter Line saja.
Kekuatiran dengan segera mendera para penumpang KRL Ekonomi yang memang berkantung pas- pasan.