Kisah tentang bagaimana Yang Kuasa menunjukkan kebesaranNya…
TENTU saja aku percaya, selalu percaya, bahwa ada campur tangan Tuhan dalam setiap langkah kita dalam hidup. Aku juga tak pernah meragukan bahwa apapun yang terjadi dalam hidup kita, hanya akan terjadi jika Dia mengijinkan itu terjadi.
Tak bisa lain.
Tapi tetap saja, berulang kali dalam hidup aku mendapati hal- hal yang membuatku takjub. Terpana. Melihat bagaimana sempurnanya Sang Pemilik Hidup merencanakan semuanya. Sehingga celah sekecil apapun bisa diatur menjadi suatu kesempatan dengan rancangan yang luar biasa tepat dan indah.
Salah satu kejadian yang akan dengan amat sangat menunjukkan hal ini adalah ketika Allah mengabulkan keinginan ayahku untuk umrah dan melancarkan jalan untuk itu.
Kami sekeluarga mengamini, berupaya, dan terus berdoa agar Allah mengabulkan niat Bapak untuk berumrah kendati di sisi lain kami menyerahkan keputusan akhir kepadaNya.
Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, diantara begitu banyak saat dimana Bapak harus keluar- masuk Rumah Sakit, ada jeda waktu sebentar dimana Bapak cukup sehat. Waktu yang tepat jika Bapak ingin beribadah umrah.
Yang menjadi kendala saat itu terutama adalah urusan biaya.
Niat suamiku dan aku untuk menjual sebidang tanah yang akan kami gunakan untuk membiayai perjalanan umrah Bapak dan Ibu serta kami sekeluarga, belum terwujud. Tanah itu walau telah ditawarkan, belum juga terjual.
Adik- adikku berusaha menabung, tetapi walau jumlah tabungan bertambah, jumlahnya belum cukup untuk bisa membiayai kedua orang tua kami dan siapapun dari kami kakak beradik yang mengantar pergi ke Tanah Suci.
Dan baru belakangan kupahami bahwa itu memang merupakan kehendak Allah. Dia memilih melalui siapa rejeki itu datang dan pada siapa pahala mengalir.
Pada akhirnya, rejeki diberikan justru melalui Bapak yang saat itu sedang sakit…
***
[caption id="attachment_213262" align="aligncenter" width="397" caption="Gambar: http://atii300.blogspot.com"][/caption]
Kedua orang tuaku, bukan orang yang biasa bermewah- mewah. Keduanya tekun, memiliki penghasilan yang baik, tetapi mengatur keuangan dengan cara yang konservatif.
Jika saja mereka mau, Bapak dan Ibu bisa hidup dengan gaya hidup yang lebih ‘wah’ dari apa yang mereka jalani selama itu. Penghasilan Bapak baik. Ibuku juga memiliki usaha yang berjalan baik.
Tetapi, ketika kawan- kawan Bapak dan ibu yang juga memiliki penghasilan yang baik tampak membeli mobil mewah, Ibu dan Bapak tetap memilih membeli mobil berdasarkan fungsinya.
Ketika banyak orang yang kami kenal mendaftarkan diri ke sebuah club eksklusif bagi keluarga yang ada di kota kami ketika itu, orang tua kami memilih untuk bersenang- senang bersama keluarga dengan cara lain yang lebih bersahaja.
Banyak lagi contoh lain serupa itu.
Jika ada kelebihan rejeki, Bapak dan Ibu menabungnya dalam bentuk tanah atau rumah.
Dan pada akhirnya, Allah memilih memberikan rejekinya dengan cara yang sangat manis dan mengejutkan dari tanah tabungan Bapak dan Ibu itu.
***
Entah sedang mempercakapkan apa, pada suatu pagi Bapak berpesan pada adikku untuk menjual sebidang tanah yang dimilikinya. Secara spesifik Bapak menyebutkan satu kavling tertentu yang dimaksudkan.
Adikku menyanggupi untuk mencari pembeli, termasuk memasang iklan penjualan tanah itu di koran.
Lalu di pagi yang sama, setelah bertemu dengan Bapak, adikku ada keperluan untuk mengurus kendaraannya. Pergilah dia ke bengkel.
Tiba- tiba, di bengkel itu seseorang menyapanya.
Adikku tak mengenal orang itu, tetapi orang yang menyapa rupanya mengenalinya sebagai anak ayahku. Dan tak hujan tak angin, orang tersebut meminta adikku menanyakan kepada Bapak apakah Bapak berniat menjual tanahnya – lalu orang itu menyebutkan lokasi tanah yang dimaksudkannya.
“ Kalau Bapak mau jual tanahnya yang itu, tolong saya duluan yang dihubungi, ya, “ kata orang tersebut.
Adikku tercengang. Lokasi tanah yang disebutkan oleh orang tersebut adalah kavling yang pada pagi harinya diminta oleh Bapak untuk dijual !
Bapak masih memiliki beberapa bidang tanah lagi, tetapi pagi itu spesifik menunjukkan satu kavling tertentu untuk dijual. Dan hanya selang sejam dua jam di pagi yang sama, adikku bertemu calon pembeli bahkan sebelum sempat menawarkan tanah tersebut pada siapapun.
Tak mungkin itu terjadi jika bukan Tuhan yang mengaturnya.
Bukan hanya dimudahkan mencari pembeli, tetapi harga penjualannya juga baik. Harga penawaran diberikan lebih tinggi dibanding harga pasar saat itu dengan maksud agar masih ada ruang untuk tawar menawar, tapi ternyata harga itu bahkan tak ditawar sedikitpun.
Dalam satu minggu transaksi terjadi.
Bapak menandatangani akte jual beli.
Itu merupakan tanda tangan terakhir yang dilakukan dalam hidup Bapak. Sebab setelah itu, kondisi Bapak tak lagi memungkinkannya untuk dapat menandatangani sesuatu.
Di akhir- akhir hidupnya, ada banyak hal baik yang dialami oleh Bapak. Salah satunya, transaksi penjualan tanah yang ditanda tanganinya tersebut. Transaksi yang lalu mewujudkan impian Bapak untuk pergi umrah.
Setelah uang penjualan tanah diterima, keputusan untuk segera berangkat umrah diambil.
Diputuskan bahwa Bapak dan Ibu akan pergi dengan dua orang anak. Satu laki- laki, satu perempuan. Aku adalah satu- satunya anak perempuan dalam keluarga, karenanya, satu dari dua anak yang akan pergi itu adalah aku.
Biaya umrah dibayar oleh Bapak dan Ibu.
Akhirnya keinginan Bapak akan terwujud dalam waktu dekat. Kusampaikan keluarga itu kepada suamiku, kuminta ijin untuk pergi mengantarkan Bapak dan Ibu.
Suamiku mengijinkan.
Dan mulailah muncul perasaan campur aduk itu. Aku senang, tapi juga agak galau. Sebab di sudut hati terdalam, aku masih memiliki satu mimpi.
Mimpi besar yang ketika itu tampaknya kecil kemungkinan akan tercapai.
Sejak lama, aku bermimpi, jika suatu saat menginjakkan kaki di Tanah Suci untuk pertama kalinya, kuingin saat itu aku berada di sana bersama suamiku.
Itu mimpi yang telah kusimpan bertahun- tahun.
Lalu, setahun terakhir, setelah mendengar keinginan Bapak untuk umrah, mimpi itu bertambah lagi dengan keinginan untuk bisa mengantarkan Bapak dan Ibu umrah bersama dengan suami dan anak- anakku.
Tapi sebab tanah yang kami niatkan dijual untuk biaya umrah belum lagi terjual dan biaya umrahku bahkan dibayar oleh orang tuaku, tampaknya aku akan harus pergi sendiri, tidak dengan suami, apalagi anak- anakku.
Kukuatkan hatiku.
Aku percaya, Allah akan memutuskan yang terbaik bagi kami semua. Namun demikian, tak pernah kuputus doa- doaku.
Walau kemungkinan terwujud sangat kecil, terus kulantunkan doa itu dalam hati, setiap saat, setiap hari: Kumohon pada Allah agar mengijinkan aku mengantarkan orang tuaku berangkat umrah bersama suami dan anak- anakku.
Dan, memang, tak ada yang mustahil bagi Sang Pemilik Hidup.
Allah mengabulkan doaku di saat- saat terakhir menjelang keberangkatan, dengan cara yang — lagi-lagi — tak terduga…
p.s. bersambung lagi ya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H