Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kalau Bertamu yang Sopan, Dong !

31 Maret 2014   05:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396191771939893663

Pohon teh terhampar bak permadani hijau.

KUTI menghentikan mobilnya. Ada tanah yang agak datar di sekitar situ. Di belakangnya, beberapa mobil lain berhenti.

Hari libur, dan beberapa keluarga yang bersaudara bersepakat untuk melewatkannya bersama- sama.

" Nengokin kebun kopi, yuk, " begitu usul Kuti beberapa hari yang lalu.

Ah, benar juga. Ini sudah masuk bulan dimana pohon kopi yang mereka tanam seharusnya mulai berbuah. Sudah waktunya pergi kesana, memang.

Begitulah, di akhir minggu saat libur, mereka pergi ke kebun kopi.

Dalam perjalanan menuju kebun kopi, mereka melewati kebun teh yang membentang luas, dan memutuskan untuk berhenti dulu makan siang disana.

***

Bergabung bersama Dee, Kuti dan ketiga anak mereka adalah Prameswari dan suaminya, Wirya beserta kedua anak mereka, Cintya dan Pratama. Selain itu ada pula Randu dan Larasati dan anak- anak mereka Respati , Kirana serta Radya. Selain itu, Kinanti dan Bayu, suami istri kawan lama Dee dan kedua anak mereka juga ikut serta.

Ramai dan seru !

Mereka bertukar cerita, dan bertukar bekal.

Masing- masing keluarga membawa bekal makanan yang lalu dibuka untuk dimakan bersama. Nasi beserta beragam lauk kini terhidang di depan mereka. Beberapa jenis makanan penutup juga tersedia. Udara sejuk, membuat perut terasa lapar. Ditambah dengan hidangan makanan yang lezat itu, semua makan dengan lahap.

" Senangnya ya, kalau bisa kumpul dan bawa masakan masing- masing dari rumah untuk dinikmati sama- sama begini, " celetuk Dee.

Semua mengangguk setuju.

" Iyaaa... " serempak mereka menjawab.

Kinanti, walau juga mengangguk, menghentikan sejenak makannya, seakan teringat sesuatu.

[caption id="attachment_317750" align="aligncenter" width="395" caption="Gambar: thehungryartist.wordpress.com"][/caption]

" Eh minggu lalu, di kompleks perumahan kami, bersama para tentangga kami juga masak- masak untuk dinikmati besama. Masing- masing memasak di rumahnya sendiri dan masakan itu kami bawa ke rumah salah seorang tetangga untuk dinikmati bersama. Siapapun boleh datang termasuk yang tidak ikut membawa masakan. "

" Asyik banget, " Larasati mengomentari.

" Ya, " Kinanti mengangguk, " Asyik mulanya, walau acara tersebut berakhir dengan kejengkelan. "

" Lho, kenapa? tanya Dee ingin tahu.

" Ada virus, " Kinanti menjawab kesal.

" Virus, maksudnya, makanan itu tercemar penyakit ? " Prameswari yang bertanya kini.

" Bukan penyakit, tapi 'penyakit'. Ada Ibu Virus yang merusak suasana. Ibu Virus -- itu julukan pada salah seorang penghuni rumah di kompleks kami, " kata Kinanti menerangkan.

Oh. Mereka tersenyum lebar memahami. " Kenapa dia, nyebelin? Dia ikut masak- masak nggak? " tanya Dee pada Kinanti.

" Nggak, " Kinanti menggeleng, " Tapi dia datang ke acara itu. "

" Lalu? "

" Nah itu dia, " kata Kinanti, " Dia datang nyelonong begitu saja. Tak seorangpun dari kami yang bersepakat untuk berkumpul membawa masakan masing- masing itu yang cukup dekat dengannya. Tapi memang tak apa dia datang, sebab acara itu terbuka untuk siapapun di lingkungan perumahan kami. Hanya saja... "

Yang lain terus mendengarkan, menanti cerita Kinanti.

" Dia itu seperti tak tahu sopan santun, " kata Kinanti. " Kami semua sedang mengantri untuk mencicipi makanan, eh tahu- tahu dia memaksa masuk ke barisan paling depan untuk mengambil makanan duluan. "

" Hah?! Ajaib, " kata Larasati.

" Itulah, " jawab Kinanti, " Dan itu belum semua... "

" Kenapa lagi dia? " kata Prameswari.

" Dia mengambil makanan dengan nyelak antrian, ibu Virus itu, " kata Kinanti, " Lalu dia mengoceh dengan suara keras, mengatakan bahwa bagus sekali kami mengadakan acara makan dengan membawa masakan sendiri dari rumah untuk dimakan bersama begitu, cuma sayang sekali yaaaaa, kenapa ibu A, B, C koq tidak diajak masak- masak bersama itu. Padahal mereka kan pandai masak dan jika mereka diajak pasti acara itu lebih sukses."

" Woalaaahhhhh... Orangnya memang nggak santun begitu ya ? " kata Larasati. "  Celetukannya itu kan bisa dianggap merendahkan, atau membanding- bandingkan. "

" Atau juga mengadu domba, " kata Kinanti.

" Ibu A, B, C yang disebutkannya, " kata Dee, " Apakah teman- teman baiknya ? "

" Setahuku tidak, " geleng Kinanti, " Mungkin hanya satu dari mereka yang dekat dengannya. Dua lagi tidak. Ibu Virus ini, tak bergaul dengan banyak tetangga di kompleks kami. Dia berkumpul dengan beberapa orang saja, membentuk suatu kelompok yang mengesankan diri sebagai kelompok eksklusif. Itu sebabnya hampir tak ada dari kami yang dekat dengannya. "

" Teman- teman yang ikut menyumbangkan masakan hari itu kesal sekali, " kata Kinanti.

" Aku bertemu dengan ibu A yang disebut- sebutnya itu saat membeli roti di minimarket dekat rumah sore harinya dan waktu aku menceritakan pada ibu A tentang komentar Virus di acara siang harinya, ibu A juga jadi kesal. Dia mengatakan dia kan jadi tidak enak kalau dibawa- bawa seperti itu, padahal dia sendiri sebetulnya tidak punya masalah sama sekali bahwa hari itu dia tak begabung dalam acara masak- memasak itu. Katanya, kapan- kapan dia akan bergabung juga jika jenis masakan yang dibuat ramai- ramai sesuai dengan jenis masakan yang biasa dia buat."

" Ibu A bilang, " kata Kinanti, " Itu namanya membenturkan dia dengan para tetangga yang ikut acara masak memasak itu. "

Wajar. Dee mengangguk. Bisa dipahami bahwa mereka yang turut masak bersama menjadi kesal dan merasa direndahkan. Wajar pula jika komentar seperti itu dianggap membenturkan.

Fakta bahwa Kinanti menyebut orang itu dengan julukan Ibu Virus -- dan konon begitulah nama julukan dia diantara para tetangga -- menunjukkan bahwa mungkin selama itu sudah ada banyak ketidak cocokan baik perilaku maupun faham atara mereka semua dengan ibu Virus tersebut.

Ibu Virus itu sendiri tak termasuk salah seorang yang menyumbangkan makanan. Datang sebagai tamu -- yang tak diundang, sebab dia memang tidak dekat dengan mereka yang membuat acara masak- memasak bersama itu, walau memang boleh datang.  Jika dia peka dan santun, maka dia akan berhati- hati saat mengomentari hasil masakan bersama itu.

Lain jika dia turut menyumbangkan makanan atau dekat dengan mereka yang ikut masak-memasak itu. Atau jika dia disukai oleh mereka semua, pembicaraan bisa jadi lebih bebas. Tapi jika tidak, seharusnya dia membatasi dan tahu diri untuk tak mengatakan hal- hal yang tidak perlu saat bekomentar.

" Bertetangga memang gampang- gampang susah, " celetuk Kinanti, " Selalu ada saja tetangga yang mengesalkan macam itu, yang bahkan tak memahami adab bertamu atau sopan- santun lain yang sangat standar. Walau, selalu juga ada banyak tetangga yang baik, yang akan dengan senang hati meminjamkan gula dan garam jika diperlukan. "

Mereka menyetujui apa yang dikatakan Kinanti.

***

" Ayo... ayo, masih banyak ini, " tiba- tiba terdengar suara  Prameswari, " Ayo diteruskan makannya... "

Mereka mengangguk, lalu kembali ke piring mereka masing- masing untuk menikmati makan siang yang nikmat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun