[caption id="attachment_341399" align="aligncenter" width="526" caption="Ilustrasi: Penerimaan mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi. Sumber: www.itb.ac.id "]
Anakku mengirimkan pesan tentang temannya yang sudah tak bisa makan beberapa hari karena tak lagi memiliki uang itu untuk menanyakan padaku apakah aku dan ayahnya bisa memberikan bantuan.
Kami -- aku dan suamiku -- memang biasa menyisihkan sebagian dari penghasilan kami untuk diberikan pada orang- orang yang membutuhkan. Preferensi kami memang biasanya untuk membantu anak- anak sekolah.
Anakku tahu itu. Dia juga tahu bahwa selama ini yang kami bantu biasanya bentuknya untuk membayar SPP atau biaya sekolah lain, tapi kali ini...
" Tapi ini dia butuhnya untuk sehari- hari, bu, bukan untuk uang sekolahnya, " kata anakku ketika mengabarkan tentang temannya, yang lalu disusul cerita tentang sudah beberapa hari temannya tak makan itu.
" Ajak ke rumah, " kataku, " Bilang sama yangti nanti pulang kuliah mau ajak teman makan di rumah. Dan iya, ibu dan bapak bisa bantu, nanti uangnya ibu transfer. "
***
Ingatanku melayang pada suatu masa ke belakang.
Letak rumah orang tuaku tak jauh dari kampus sebuah perguruan tinggi di kota kelahiranku, dimana saat ini putri sulungku kuliah -- kota yang berbeda dengan tempatku tinggal kini. Dan belum hilang dari ingatanku saat- saat dulu, dimana salah seorang adikku yang juga kuliah di kampus itu sering menelepon ibuku siang- siang dari kampus.
" Ibu, ibu masak, kan? Aku mau ajak teman pulang ke rumah ya. Dia sudah nggak makan tiga hari... "
Ibuku, tentu saja, selalu mengijinkan.