Kuperhatikan dengan kesal orang yang marah-marah itu yang akhirnya malah sudahlah marah, shalat tetap tidak bisa. Padahal yang dimarahi bisa mendapat tempat lapang untuk shalat.
Beberapa hari berlalu dan aku berpikir, aku sendiri tak lebih baik dari orang yang marah-marah itu. Wong lihat orang marah pada orang lain koq aku yang kesal sendiri. Rugi amat. Orangnya sudah tak terlihat mata, hati masih panas...
Itu belum habis.
Masih di Madinah, setengah mati aku harus menahan kegeraman dan (lagi-lagi) kemarahan yang hampir saja meluap keluar. Di jam-jam tertentu menjelang shalat, lift hotel memang luar biasa padat. Dan percaya atau tidak, di saat-saat seperti itu alih-alih berbagi, ada saja orang yang ingin memonopoli lift agar dirinya segera tiba di lantai tujuan..orang lain sih terserah aja...
Jadi..di Madinah itu, suatu hari kami sedang menunggu lift untuk turun ke lantai bawah. Saat lift terbuka di lantai kami tiba-tiba seseorang, Bapak-bapak, dari dalam lift berseru pada kami yang ada di luar, " Jangan ditekan-tekan tombolnya biar pintunya nggak terbuka-buka terus."
Aku sedemikian tercengang atas kalimat yang tak logis itu hingga beberapa detik masih berdiri saja di depan lift. Jangan ditekan itu maksudnya apa? Tentu saja orang yang sedang menanti lift akan menekan tombol naik atau turun sesuai kebutuhannya bukan?
Untunglah suamiku tak terprovokasi dengan hal itu. Sebab di dalam lift memang sebetulnya masih ada ruang kosong untuk beberapa orang, dia melangkah masuk sambil mengajakku, " Ayo D..."
Maka masuklah kami.
Selesai?
Tidak rupanya. Begitu kami masuk, Bapak-bapak yang sama berkata , " Udah, sekarang tekan aja tombol tutup supaya pintunya nggak terbuka- buka lagi. "
Tak ada yang bergerak menurutinya. Aku juga tidak, tentu saja. Tapi aku kesal sekali, sudahlah tadi saat hendak masuk dikomentari, setelah di dalam lift masih belum pula dia berhenti.