Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sabar Itu Memang Tidak Mudah [Sebuah Refleksi dari Perjalanan Haji]

27 September 2014   03:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:20 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_344576" align="alignnone" width="640" caption="menjelang waktu shalat tempat di dalam Masjidil Haram sudah penuh (foto dok. Rumah Kayu)"][/caption]

Sabar, nrimo, tak perlu banyak komentar...

Itu pesan yang banyak kuterima menjelang keberangkatan untuk beribadah haji. Pesan yang selalu kuiyakan dan kuingat-ingat di dalam hati. Pesan yang ternyata... bukan hal mudah untuk dilakukan setiap hari secara konsisten. Dan inilah salah satu hikmah yang mulai kucatat dari perjalanan ibadah haji ini. Bahwa semakin hari, kita semakin dilatih untuk bersabar. Semakin hari, kita memang harus belajar untuk legowo dan easy going. Kalau tidak, rugi sendiri nanti.

Ustad pembimbing kami mengatakan, sejatinya saat kita berbuat baik, kita sedang berbuat baik terhadap diri sendiri. Saat kita berbuat buruk, maka sebenarnya kita sedang berbuat buruk terhadap diri sendiri. Hal yang dari hari ke hari makin kupelajari maknanya.

***

Jika mencari sumber kejengkelan, ada banyak hal yang bisa membuat kesal bahkan sejak hari-hari awal. Membuat hati dan pikiran kisruh, membuat mulut ingin mengomel.

[caption id="attachment_344577" align="alignnone" width="640" caption="Ada yang tega menaruh sandal dan barang-barang di karpet tempat shalat, membuat shaf shalat menjadi bolong (dok. Rumah Kayu)"]

1411736454452880568
1411736454452880568
[/caption]

Di Madinah, kulihat dengan tercengang seorang ibu marah-marah dengan kasar di dalam Raudhah, tempat yang disebut Taman Surga, tempat yang terletak antara rumah Rasulullah -- yang kini menjadi makamnya -- dengan mimbarnya.

Ibu itu marah-marah dengan suara keras dan kasar pada ibu lain. Dia mengatakan, "Kalau berdiri lihat-lihat dong... ngalangin begitu, saya lagi shalat jadi tidak bisa sujud!"

Yang dimarahi, sebab mungkin tak sengaja dan tak sadar, cuma bengong-bengong tak mengerti.

Bukan aku yang dimarahi tapi situasi semacam itu sempat membuatku kesal juga. Ngapain sih marah-marah di tempat seperti ini. Mbok ya nerima saja mungkin rejekinya memang sebatas bisa masuk tapi tak bisa shalat.

Kuperhatikan dengan kesal orang yang marah-marah itu yang akhirnya malah sudahlah marah, shalat tetap tidak bisa. Padahal yang dimarahi bisa mendapat tempat lapang untuk shalat.

Beberapa hari berlalu dan aku berpikir, aku sendiri tak lebih baik dari orang yang marah-marah itu. Wong lihat orang marah pada orang lain koq aku yang kesal sendiri. Rugi amat. Orangnya sudah tak terlihat mata, hati masih panas...

Itu belum habis.

Masih di Madinah, setengah mati aku harus menahan kegeraman dan (lagi-lagi) kemarahan yang hampir saja meluap keluar. Di jam-jam tertentu menjelang shalat, lift hotel memang luar biasa padat. Dan percaya atau tidak, di saat-saat seperti itu alih-alih berbagi, ada saja orang yang ingin memonopoli lift agar dirinya segera tiba di lantai tujuan..orang lain sih terserah aja...

Jadi..di Madinah itu, suatu hari kami sedang menunggu lift untuk turun ke lantai bawah. Saat lift terbuka di lantai kami tiba-tiba seseorang, Bapak-bapak, dari dalam lift berseru pada kami yang ada di luar, " Jangan ditekan-tekan tombolnya biar pintunya nggak terbuka-buka terus."

Aku sedemikian tercengang atas kalimat yang tak logis itu hingga beberapa detik masih berdiri saja di depan lift. Jangan ditekan itu maksudnya apa? Tentu saja orang yang sedang menanti lift akan menekan tombol naik atau turun sesuai kebutuhannya bukan?

Untunglah suamiku tak terprovokasi dengan hal itu. Sebab di dalam lift memang sebetulnya masih ada ruang kosong untuk beberapa orang, dia melangkah masuk sambil mengajakku, " Ayo D..."

Maka masuklah kami.

Selesai?

Tidak rupanya. Begitu kami masuk, Bapak-bapak yang sama berkata , " Udah, sekarang tekan aja tombol tutup supaya pintunya nggak terbuka- buka lagi. "

Tak ada yang bergerak menurutinya. Aku juga tidak, tentu saja. Tapi aku kesal sekali, sudahlah tadi saat hendak masuk dikomentari, setelah di dalam lift masih belum pula dia berhenti.

Pintu lift terbuka dan suamiku, yang tentu saja mengenalku dengan sangat baik dan sudah bisa menghitung bahwa jika tidak dicegah, satu saja tingkah aneh lagi dari orang yang sama sudah cukup untuk membuatku meledak marah pada orang tersebut.

" Sudah D.. " bisik suamiku.

Tepat pada waktunya. Sebab sedetik kemudian bapak-bapak tadi lewat di sampingku dan menyalip menerobos barisan orang sambil bernyanyi-nyanyi, " Ayo kita ke masjid..ayo kita ke masjid..sudah hampir terlambat ini... "

Wong gendheng, gumamku pelan. Suamiku menggenggam tanganku, memperlambat langkah. Kupahami maksudnya, dia berusaha membuat jarak antara bapak- bapak tadi denganku makin jauh. Sebab batas kesabaranku sudah habis.

Aku berterimakasih atas sikap suamiku, mencegah keributan yang tak perlu. Walau jengkelku pada tingkah Bapak- bapak itu baru hilang beberapa jam kemudian.

***

Ada banyak hal 'aneh' yang kutemui.

Suatu hari aku sedang duduk menanti waktu shalat tiba, di halaman masjid Nabawi yang saat itu sudah dipenuhi jamaah. Duduk menghadap ke muka, ke arah kiblat, beberapa menit kemudian aku menoleh sebab ada suara ribut-ribut di belakangku.

Ada tiga perempuan dengan umur beragam di situ. Satu yang paling muda memegang sebuah gelas dan dua buah botol. Dia berkata, "Tidak cukup tangannya, tidak bisa pegang."

Kupahami segera situasinya. Dia hendak mengambil air zamzam yang memang ada banyak tersedia di sekitar situ, dan seorang ibu tua yang duduk di sampingnya memintanya untuk sekalian mengisikan botol ibu tua itu.

Lalu sebab perempuan muda itu mengatakan tangannya tak bisa memegang jika ditambah satu botol lagi, maka ibu-ibu tua itu mengeluarkan sebuah kantong kresek dari tasnya dan berkata, "Pakai ini saja."

Sang perempuan muda mengangguk menerima. Diambilnya kantong kresek tersebut dan dia mengulurkan tangan hendak mengambil botol ibu tua tersebut ketika tiba-tiba perempuan yang satu lagi, usianya kira-kira ada di tengah-tengah antara yang muda dan yang tua itu, tiba- tiba marah-marah.

"Kan dia sudah bilang, tangannya tidak muat ! " kata ibu tersebut pada perempuan tua yang minta tolong.

Lalu, "Sudah, tidak usah ! " katanya pada si perempuan muda, mencegah perempuan muda itu menerima botol sang ibu tua.

Kemudian dilanjutkan dengan, "Nanti botolnya ketuker nggak.. "

Kuamati terus peristiwa itu. Di tangan perempuan yang paling muda, selain sebuah gelas ada dua botol yang tadinya merupakan botol kemasan air mineral yang serupa.

Kulirik botol di tangan ibu yang tua. Botolnya sama juga.

Perempuan yang paling muda yang hendak mengambil air lalu berkata, " Ya sudah, dikasih nama saja. Ada spidol kan? "

Ibu yang marah-marah tadi mengambil spidol dari tasnya. Dia mengambil botolnya sendiri, diberinya nama. Kemudian ditanyakannya yang mana botol si perempuan muda, yang lalu diberinya nama pula.

Kulihat ibu-ibu tua di belakangku menyodorkan pula botolnya untuk diberi nama, tapi ditepis oleh ibu yang memiliki spidol.

"Tidak usah! Punya ibu tidak usah dikasih nama ! "

Oh. Aku antara tercengang, kasihan pada sang ibu tua dan geli serta heran. Ealaahhh.. bahkan menuliskan nama ibu tua itu dengan spidolnyapun dia tak ikhlas rupanya.

Kubalikkan badanku. Tak lagi kuperhatikan mereka.

***

Ada beberapa hal lagi yang mengganggu hatiku di hari- hari pertama perjalanan haji kami. Saat kami di Madinah dan hari-hari pertama masuk Mekah.

Orang memang datang ke sini dengan membawa sifat dan kebiasaannya sendiri-sendiri. Yang mungkin tak sesuai dengan pemikiran kita.

[caption id="attachment_344578" align="alignnone" width="640" caption="Masjid Nabawi di sekitar waktu shalat (dok. Rumah Kayu)"]

1411736776392502701
1411736776392502701
[/caption]

Urusan foto-foto saja bisa bikin jengkel. Sebab satu orang dengan yang lain menaruh kepentingan foto dalam skala yang berbeda.

Aku, misalnya, tak terlalu perduli dengan foto- foto. Sekedarnya saja. Aku tidak anti tapi tak pula akan ngebela-belain urusan foto. Sementara ada orang lain dalam rombongan yang selalu sibuk dengan pose foto termasuk meminta orang lain untuk juga berpose dalam sikap foto yang dikehendakinya. Biar fotonya bagus.

Penting baginya, nggak penting banget bagiku. Walau oh..mungkin bisa jadi juga penting jika salah satu dari kami nanti jadi calon presiden dan lawan politik menyebarkan kampanye hitam bahwa sang calon presiden hajinya palsu, ya..hehehe.

[caption id="attachment_344579" align="alignnone" width="640" caption=" penuh padat di Masjid Nabawi (dok. Rumah Kayu)"]

1411736943191348586
1411736943191348586
[/caption]

Anyway, suatu hari dalam kelelahan yang sangat seusai umrah segera setelah perjalanan panjang hampir dua belas jam dari Madinah ke Mekah, aku yang lega sekali atas lancarnya umrah sudah segera ingin kembali ke kamar hotel dan berbaring.

Sementara ada teman serombongan yang sibuk mengatur pose foto dan bahkan rela mendorong orang agar sudut foto yang diinginkannya bisa diambil.

Duh...

***

Berulang kali mengalami kejengkelan dari hal-hal kecil sehari- hari membuatku merenung dan membuat refleksi diri.

Aku mengambil hikmah atas semua hal menjengkelkan yang kulihat. Kujadikan itu pengingat diri. Jika aku jengkel melihat hal- hal tersebut, maka kuingatkan diriku untuk tak melakukan hal serupa.

Tapi itu saja tak cukup.

Kuingatkan diriku sendiri. Ini masih awal, situasinya sebetulnya juga masih relatif mudah diantara rangkaian panjang perjalanan ibadah haji kami. Masa' aku mau jengkel terus?

Lalu jika hal-hal kecil begitu saja membuatku jengkel, bagaimana pula nanti akan kuhadapi hari-hari ke depan ketika rasa lelah akan makin menumpuk, tempat makin padat, dan sebagainya?

Maka kuperbanyak shalatku.

Berulang-ulang kulakukan shalat taubat dan shalat hajat. Memohon ampun atas semua kesalahan, memohon ketenangan dan keluasan hati, memohon diberi kesabaran.

[caption id="attachment_344580" align="alignnone" width="640" caption="Halaman Masjid Nabawi juga dipenuhi jamaah haji (dok. Rumah Kayu)"]

14117371061994176692
14117371061994176692
[/caption]

Dan aku mulai berdamai dengan keadaan. Kuringankan saja apa yang kulihat. Kuupayakan agar sedikit saja bicara atau berkomentar. Banyak tersenyum. Kuhindari orang-orang yang berpotensi membuat hatiku rusuh. Biar saja jika dia sifatnya begitu, tak perlu kupusingkan jika tak bersinggungan, bukan?

Maka jika berfoto bersama, kuambil sisi yang berlawanan sehingga dia tak bisa menjangkauku. Di ruang makan yang luas,kupilih duduk dengan orang- orang yang ringan hati. Saat melihat orang yang kumaksud tak mau beranjak dari lorong saat pengajian padahal ustad pembimbing kami sudah mengingatkan untuk tak duduk di lorong sebab bisa menghalangi jalan orang, kututup mulutku rapat- rapat agar tak ada komentar keluar dari mulutku. Kan sudah tahu, orangnya memang begitu, ngapain dikomentarin lagi, bikin dosa aja.

Kulatih diri untuk makin meringankan hati. Alih-alih memperhatikan hal-hal yang membuatku kesal, kualihkan pikiranku pada begitu banyak karunia dan kemudahan yang kuterima dalam perjalanan haji ini.

Sedikit demi sedikit, walau tak mudah, kesabaran itu kupupuk agar makin tumbuh besar dan kuat di dalam hati...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun