Kuketuk rumahmu kala itu.
Pagi menghangat surya menyapa
"Ibu Sri Mulyati, guruku,
Salam kuhaturkan padamu"
Sebelum adanya jawab,
kuamati tiap sudut teras rumahmu,
bunga Melati subur ranum mewangi
hijau daun, bunga awal musim hujan.
Lalu, daun pintu perlahan terbuka.
Senada degup jantungku bertemu denganmu.
Ibu guruku renyah suaramu menyambut.
Anak ingusanmu di masa lalu.
Ibu Sri Mulyati, guruku.
Senyummu terlukis indah.
Dalam sketsa wajah renta oleh masa.
"Siapakah Ibu berkunjung ke rumah saya?"
Ibu Sri Mulyati guruku.
Masa memang telah menggerus ingatanmu.
Namun, tutur santun  berbalut senyum itu .
Masih sama saat aku masih gadis tanggung.
Sampai kini aku mendewasa seorang Ibu.
"Tabik sahaya kepada Ibu Sri,
guru sahaya di sekolah menengah,
guru sahaya dalam budi pekerti,
guru sahaya yang tak kan pupus
nasihatnya untuk kami"
Sebelum jeda suaraku.
Ibu Sri Mulyati guruku.
Telah meraih bahuku.
Mendekap hangat kasih seorang Ibu.
Kurasi bahumu tulang berbalut.
Kulit kering berketiput.
Namun, hangat kasihmu tetap lembut.
Kuikuti kecondongan tubuhmu,
Namun, tak kuragukan semangatmu kokoh.
Ibu Sri Mulyati guruku.
Selalu kuingat berlian yang kaupancarkan.
"manusia tak hanya fasih dan tajam pemikiran,
ia adalah diri yang berjiwa.
Manusia tak sekedar raga berjalan,
menjadikan ilmu sebagai Tuhan,
hingga ia harus menginjak jiwa manusianya"
Kini di depanku, erat memelukku.
Ibu Sri Mulyati Guruku.
Berlian itu masih melekat dalam dirimu.
Ilmu tak menjadikanmu pongah.
Penuh dikdaya.
Merendah padaku sungguh
Tak jadikanmu rendah, Ibu guruku.
Santun padaku, gadis tanggungmu dulu.
Tak lantas jadikannu jelata dalam benakku.
Ibu Sri Mulyati guruku.
Engkau Ibu guruku dulu,
kini, saat aku pun menjadi ibu
rapuh dengan perang kesimpang-siuran.
"Kita seorang ibu, sumber peradaban,
rumah kemuliaan, inspirasi kehidupan"
tegurmu tulus padaku, ibu yang gagap
menyikapi kemegahan zaman.
Lalu aku ingat kembali, wahai ibu.
Guru peradaban.
Pagi itu di ruang sederhana
Kita sebut kelas sekolah kami
Ibu Sri Mulyati guruku
Mengajak kami berdoa
Ibu bilang doa melunakkan hati
Dari nafsu kesombongan manusia
Aku yang bengal klingi mengiyakan,
menengadah tangan sejurus mata
terpana oleh khusyukmu lentunkan
harap pada Sang Maha.
Ibu Sri Mulyati guruku.
Engkau juga bilang
"jangan sampai lupa,
Memanusiakan diri kita,
Manusia di luar sana
Hingga seluruh manusia dalam semesta!
Alam patut kau jaga, dan kita
Sejahtera di dalamya.
Kuketuk rumah Ibu Sri Mulyati.
Di pagi yang hangat.
Kuketuk kembali nuraniku.
Ibu tak layaknya putus asa.
Zaman bisa saja bergulir.
Menggelinding liar.
Kita, para ibu dan guru penjaganya. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H