Mohon tunggu...
Ruli Trisanti
Ruli Trisanti Mohon Tunggu... Guru - pengajar

pengajar yang ingin belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ibu Srimulyati Guruku

9 November 2023   07:00 Diperbarui: 9 November 2023   07:09 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuketuk rumahmu kala itu.

Pagi menghangat surya menyapa

"Ibu Sri Mulyati, guruku,

Salam kuhaturkan padamu"

Sebelum adanya jawab,

kuamati tiap sudut teras rumahmu,

bunga Melati subur ranum mewangi

hijau daun, bunga awal musim hujan.

Lalu, daun pintu perlahan terbuka.

Senada degup jantungku bertemu denganmu.

Ibu guruku renyah suaramu menyambut.

Anak ingusanmu di masa lalu.

Ibu Sri Mulyati, guruku.

Senyummu terlukis indah.

Dalam sketsa wajah renta oleh masa.

"Siapakah Ibu berkunjung ke rumah saya?"

Ibu Sri Mulyati guruku.

Masa memang telah menggerus ingatanmu.

Namun, tutur santun  berbalut senyum itu .

Masih sama saat aku masih gadis tanggung.

Sampai kini aku mendewasa seorang Ibu.

"Tabik sahaya kepada Ibu Sri,

guru sahaya di sekolah menengah,

guru sahaya dalam budi pekerti,

guru sahaya yang tak kan pupus

nasihatnya untuk kami"

Sebelum jeda suaraku.

Ibu Sri Mulyati guruku.

Telah meraih bahuku.

Mendekap hangat kasih seorang Ibu.

Kurasi bahumu tulang berbalut.

Kulit kering berketiput.

Namun, hangat kasihmu tetap lembut.

Kuikuti kecondongan tubuhmu,

Namun, tak kuragukan semangatmu kokoh.

Ibu Sri Mulyati guruku.

Selalu kuingat berlian yang kaupancarkan.

"manusia tak hanya fasih dan tajam pemikiran,

ia adalah diri yang berjiwa.

Manusia tak sekedar raga berjalan,

menjadikan ilmu sebagai Tuhan,

hingga ia harus menginjak jiwa manusianya"

Kini di depanku, erat memelukku.

Ibu Sri Mulyati Guruku.

Berlian itu masih melekat dalam dirimu.

Ilmu tak menjadikanmu pongah.

Penuh dikdaya.

Merendah padaku sungguh

Tak jadikanmu rendah, Ibu guruku.

Santun padaku, gadis tanggungmu dulu.

Tak lantas jadikannu jelata dalam benakku.

Ibu Sri Mulyati guruku.

Engkau Ibu guruku dulu,

kini, saat aku pun menjadi ibu

rapuh dengan perang kesimpang-siuran.

"Kita seorang ibu, sumber peradaban,

rumah kemuliaan, inspirasi kehidupan"

tegurmu tulus padaku, ibu yang gagap

menyikapi kemegahan zaman.

Lalu aku ingat kembali, wahai ibu.

Guru peradaban.

Pagi itu di ruang sederhana

Kita sebut kelas sekolah kami

Ibu Sri Mulyati guruku

Mengajak kami berdoa

Ibu bilang doa melunakkan hati

Dari nafsu kesombongan manusia

Aku yang bengal klingi mengiyakan,

menengadah tangan sejurus mata

terpana oleh khusyukmu lentunkan

harap pada Sang Maha.

Ibu Sri Mulyati guruku.

Engkau juga bilang

"jangan sampai lupa,

Memanusiakan diri kita,

Manusia di luar sana

Hingga seluruh manusia dalam semesta!

Alam patut kau jaga, dan kita

Sejahtera di dalamya.

Kuketuk rumah Ibu Sri Mulyati.

Di pagi yang hangat.

Kuketuk kembali nuraniku.

Ibu tak layaknya putus asa.

Zaman bisa saja bergulir.

Menggelinding liar.

Kita, para ibu dan guru penjaganya.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun