Selain itu, keterbatasan transparansi informasi dari penjual juga menjadi penyebab sengketa. Beberapa pelaku usaha seringkali tidak menyampaikan informasi yang lengkap dan jujur mengenai produk yang dijual, termasuk kebijakan pengembalian atau garansi barang. Hal ini membuat konsumen merasa tertipu setelah menerima produk. Konsumen juga seringkali tidak memahami syarat dan ketentuan transaksi yang berlaku sehingga kesalahpahaman antara penjual dan pembeli sulit dihindari.
Faktor lain adalah ketidakjelasan kebijakan pengembalian dana (refund) dan pengembalian barang (return). Dalam jual beli online, kebijakan ini menjadi aspek penting untuk melindungi konsumen jika terjadi masalah.
Namun, banyak platform atau penjual yang tidak menyediakan kebijakan tersebut atau justru mempersulit proses pengembalian barang. Hal ini menimbulkan frustrasi bagi konsumen yang ingin menuntut haknya, terutama jika produk yang diterima rusak atau tidak sesuai.
Tidak hanya dari sisi pelaku usaha, konsumen yang kurang berhati-hati juga sering menjadi penyebab sengketa. Banyak konsumen yang tidak membaca deskripsi produk secara rinci atau tidak memeriksa reputasi penjual sebelum melakukan transaksi. Selain itu, konsumen yang melakukan pembayaran di luar sistem platform e-commerce resmi sering kali menjadi korban penipuan karena tidak ada mekanisme perlindungan transaksi. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi kepada konsumen juga perlu ditingkatkan.
Terakhir, kelemahan regulasi dan penegakan hukum turut memperparah munculnya sengketa konsumen. Meskipun sudah ada peraturan seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UU ITE, implementasi dan penegakan hukum masih belum optimal. Banyak konsumen yang merasa enggan untuk membawa masalah mereka ke jalur hukum karena prosedur yang rumit, biaya tinggi, dan waktu penyelesaian yang lama.
Hal ini menyebabkan konsumen memilih untuk pasrah terhadap kerugian yang mereka alami, yang pada akhirnya memperparah ketidakadilan dalam transaksi online.
2.Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
Dalam hukum Indonesia, penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan ketentuan tersebut, sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua mekanisme, yaitu jalur litigasi (pengadilan) dan non-litigasi (di luar pengadilan). Jalur litigasi dilakukan melalui pengadilan negeri atau pengadilan khusus seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sementara itu, jalur non-litigasi dapat berupa mediasi, arbitrase, atau konsiliasi.
Mekanisme litigasi melalui pengadilan negeri memungkinkan konsumen untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha yang dianggap merugikan. Prosedur ini diatur sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku. Namun, dalam praktiknya, mekanisme litigasi sering dianggap tidak efisien karena memakan waktu yang lama dan biaya yang besar. Sebagai alternatif, konsumen dapat mengajukan gugatan ke BPSK, yang secara khusus dibentuk untuk menangani sengketa konsumen. BPSK memiliki kewenangan untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cepat, mudah, dan murah.
Selain itu, penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui jalur non-litigasi, seperti mediasi atau arbitrase. Mediasi melibatkan pihak ketiga netral yang membantu para pihak mencapai kesepakatan secara damai. Sedangkan arbitrase memungkinkan sengketa diselesaikan melalui keputusan arbiter yang bersifat final dan mengikat. Jalur ini dinilai lebih efisien dibandingkan litigasi karena prosesnya lebih cepat dan informal. Beberapa platform e-commerce juga menyediakan layanan penyelesaian sengketa internal melalui mekanisme pengaduan konsumen yang difasilitasi oleh pihak platform.
Undang-Undang ITE juga menekankan pentingnya penyelesaian sengketa dalam transaksi elektronik. Dalam Pasal 18 ayat (4), disebutkan bahwa sengketa yang timbul akibat transaksi elektronik dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang ditentukan oleh para pihak. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi konsumen dan pelaku usaha untuk memilih jalur penyelesaian yang paling efektif.