Mohon tunggu...
RUH Saputra
RUH Saputra Mohon Tunggu... Insinyur - Bisnis

Sama dengan di atas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlunya Dibuat Undang-Undang untuk Food Estate

7 November 2024   16:51 Diperbarui: 7 November 2024   17:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa buktinya? Mereka berjasa sangat besar karena membuat negara ini tetap ada. Selain itu mereka semua pun menjadikan produksi pangan sebagai program utama, dimana salah satunya adalah program food estate.

Proyek atau program "food estate" pertama kali dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1995 dengan proyek penanaman 1,45 juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah. Sayangnya proyek ini dinyatakan gagal dan diputuskan berhenti oleh Presiden BJ Habibie melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998. Tepatnya, setelah 3 tahun proyek ini dicanangkan.

Hampir seluruh proyek food estate yang dicanangkan presiden pelanjut, sampai era Presiden Jokowi banyak yang menganggapnya gagal. Masalahnya, tidak sedikit kalangan yang mempersalahkan kegagalan tersebut kepada sang presiden. Dan ini saya katakan, salah alamat!

Food estate adalah bukti visi besar seorang presiden agar pangan rakyatnya dapat dipenuhi secara mandiri. Jadi posisi keputusannya sudah keputusan strategis, dan bukan lagi taktis apalagi teknis. Justru yang bisa dianggap salah adalah ketika presiden tidak mencanangkan atau melaksananakan proyek food estate tersebut.

Mengingat posisinya adalah keputusan strategis, maka ketika terjadi kegagalan, dimana harus dicari siapa yang salah, maka posisi kesalahannya bukan pada sang presiden sebagai pembuat keputusan atau kebijakan strategis, tetapi pada pelaksana dari proyek tersebut.

Selanjutnya ketika harus dicari siapa yang salah dari pelaksana tersebut, maka harus diketahui dulu posisi mereka. 

Posisi pertanian terdiri dari 2, yakni pertanian sebagai sistem produksi dan pertanian sebagai fungsi produksi.

Dalam buku MEMBUKA TABIR PENATAAN ALAM RAYA, Bab IV tentang Penataan Pertanian, telah saya jelaskan cukup detail bagaimana kedua posisi ini bersatu padu untuk menjadikan Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia (buku diterbitkan pertama kali tahun 2013).

Dalam buku tersebut telah dijelaskan bahwa sebagai sistem produksi, pertanian harus dikelola oleh tentara (TNI-POLRI). Mengapa demikian? Karena komponen atau masalah yang harus ditangani pertanian sebagai sistem produksi sangat komplek, diantaranya  penyediaan sarana dan prasarana produksi, distribusi, pemasaran dan harga, termasuk di dalamnya penanganan masalah mafia atau kartel dalam bidang pangan.

Yang pasti, pengelolaan pertanian sebagai sistem produksi harus dilakukan oleh institusi yang memiliki garis komando yang tegas dan jelas. Di negara bangsa ini, pastilah kita sepakat bahwa institusi dimaksud adalah TNI-POLRI. Oleh karena itulah dalam buku tersebut saya menyatakan sebagai sistem produksi, pertanian harus dikelola oleh tentara, atau TNI-POLRI.

Bagaimana dengan pertanian sebagai suatu fungsi? Inilah yang harus dikelola oleh para ahli-ahli pertanian termasuk para peneliti, dan para petani yang mau dan mampu. Produksi pertanian (P) adalah fungsi dari benih (B) terhadap pupuk (nutrisi)-Pu(N) dan lingkungan (L), yang biasanya dinotasikan P = f(B|Pu(N), L).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun