Jika anak-anak muda generasi sekarang ditanyakan apakah mereka mengenal Tan Po Goan?
Saya yakin mereka akan kebingungan, siapa dia. Dan kalau pun ruang pertanyaannya dipersempit lagi, beliau adalah seorang pahlawan yang dibenci baik oleh pemerintah Hindia Belanda maupun Jepang.
Saya masih yakin, mereka masih belum bisa menjawabnya.
Barangkali kalau disebutkan nama Soeprijadi atau Jenderal Soedirman, mereka masih mampu mengetahui, atau setidaknya pernah mendengar kedua sosok pejuang bangsa tersebut.
Tahukah Anda siapa saja pejuang-pejuang kita pada era 1942-1945 setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jepang?
Dari catatan sejarah, mereka ada yang berjuang secara fisik maupun "gerakan bawah tanah".
Syodanco Soeprijadi salah satunya, yang terkenal dengan perlawanan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar.
Sedangkan Achmad Soebardjo, Wikana, Syarif Thayeb, Adam Malik, atau Sutan Syahrir mereka melakukan perlawanan "gerakan bawah tanah".
Ada satu sosok lagi yang melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang di tanah air ini, namanya Tan Po Goan.
Yang bersangkutan, Tan Po Goan, kelahiran Cianjur, Jawa Barat, 24 Oktober 1911, dalam beberapa pekan terakhir menjadi viral di media sosial.
Pada masa pendudukan Dai Nippon, yakni kurun waktu 1942-1945, Jepang melakukan interniran (penyiksaan hebat) kepada tokoh-tokoh atau orang-orang yang kontra Dai Nippon, termasuk di antaranya Tan Po Goan.
Tak pelak "kamp penganiayaan" tersebut menyebabkan ribuan nyawa terenggut. Dan cuma mereka yang masih kuat saja yang mampu bertahan, salah satunya adalah Tan Po Goan.
Wikipedia mengatakan Tan Po Goan bersekolah di Algemeene Middelbare School di Bandung, Jawa Barat, dan pada tahun 1937 dia meraih gelar Meester in de Rechten dari Rechtshoogeschool te Batavia.
Setelah itu, pada 1939 dia bergabung dengan koran Sin Po.
Sin Po adalah koran Cina berbahasa Melayu yang berdiri pada 1910 di jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Pertama kali terbit di Jakarta pada Oktober 1910 koran ini masih mingguan. Dua tahun kemudian, barulah terbit harian.
Sebagian generasi terdahulu barangkali masih ingat atau mendengar koran ini yang melintasi beberapa jaman. Dari 1910 (Hindia Belanda), era kemerdekaan (1945), hingga yang terakhir pada 1965.
Selepas bebas dari Jepang, Tan Po Goan menolak tawaran dari seorang pejabat Belanda yang memberikannya jabatan sebagai advokat, Goan menolaknya dengan satu alasan.
Alasan yang dimaksud adalah karena Goan tidak mau memenuhi salah satu syarat, yaitu harus sumpah setia kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.
Dua tahun setelah merdeka, pada tahun 1947, Mr Goan diangkat menjadi salah satu Menteri Negara Urusan Peranakan dalam Kabinet Sjahrir ke III, kurun 2 Oktober 1946-3 Juli 1947.
Pengangkatannya sebagai Menteri Urusan Peranakan tersebut tak lepas kaitannya dengan insiden rasialis terhadap orang-orang keturunan Cina di daerah Benteng, Tangerang (yang kini menjadi bagian dari Propinsi Banten).
Pada tahun itu juga, Mr Goan menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Sedangkan kurun 1950-1956 beliau menjadi anggota DPR.
Tan Po Goan hijrah ke Australia dan anak-anaknya ke Kanada guna menghindari kejaran yang dilakukan oleh rezim orba, dikarenakan dia pro Bung Karno.
Sebelum ke Kanada, Tan Tjoen Liang, salah seorang anaknya, sempat menjadi supir oplet di wilayah Jatinegara.
Rumah Goan di daerah Menteng disita.
Tan Po Goan menghadap Sang Pencipta di Australia pada tahun 1985.
Sempat menjadi pengacara Aidit
Seperti diketahui, pemberontakan PKI di Indonesia terjadi pada tahun 1965 dengan tokoh utamanya adalah DN Aidit. Sudut dari Aidit ini berkaitan dengan Tan Po Goan adalah ketika Goan sempat menjadi pengacara Aidit, tetapi bukan pada 1965 atau sesudahnya.
Kejadiannya terjadi 15 tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1950 ketika Indonesia baru saja 5 tahun merdeka.
Pada 1950 Aidit dan temannya Loekman (yang juga tokoh utama PKI) pernah berurusan dengan pengadilan.
Bukan karena berpihak kepada Belanda atau makar. Dua orang yang nantinya menjadi pentolan PKI itu ditahan dan harus berurusan dengan pengadilan karena mereka menjadi penumpang gelap di sebuah kapal jurusan Tanjung Priok-Hongkong.
Dengan kata lain, mereka menyelinap di kapal yang sedang berlayar itu dengan tidak menggunakan karcis.
Dalam KUHP disebutkan perbuatan itu terancam hukuman maksimal 3 bulan bui.
Entah mendapatkan honor berapa sebagai pengacara, Goan akhirnya dapat mendorong hakim Asan Nasution yang mengadili perkara itu yang menjatuhkan hukuman 2 minggu penjara kepada Aidit dan Loekman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H